Another X-Gen

160 51 12
                                    

Aku sedang buang air di pinggir sungai, meninggalkan Tante Nat menjaga Kak Galaksi dan Rei yang sudah 4 jam ini tidur. Lalu, aku melihat pergerakan kendaraan di seberang sungai dengan logo Monochrome yang sama dengan yang kulihat pada helikopter semalam. Cepat-cepat aku menyudahi urusanku dan membangunkan yang lain. Sebab, mata kami sempat saling bertemu. Aku yakin, mereka menyadari keberadaan kami. Jadi, begitu pagi datang, kami secepatnya pergi dari sana.

Kami berlari ke arah selatan. Sebenarnya, berlari kemana pun akan sama saja, sebab tak ada tempat yang bisa kami pakai untuk bersembunyi. Semua bangunan sudah dibumihanguskan. Meski kami berlari pun, mereka dengan cepat menemukan kami. Hanya dalam 20 menit saja, helikopter mereka sudah mengejar kami dengan ketinggian yang rendah, membuat tekanan dan udara di sekeliling terasa memberatkan tubuh.

Sekalinya menemukan wilayah pemukiman, tak ada satupun bangunan yang bisa dipakai untuk bersembunyi. Selebihnya, yang kami temukan hanya hamparan ladang tak terawat dan kering. Sungguh, kami berada di situasi paling berat sekarang. Jujur saja, aku lebih takut dengan mereka daripada bertemu Zombizilla sekalipun.

Menyerahkan diri adalah keputusan yang sulit jika memang benar Monochrome bukan tempat yang bisa dipercaya. Tapi, jika kami terus berlari, mereka pasti tahu bahwa kami takut pada mereka. Sebenarnya, posisi kami saat ini tak menguntungkan di sisi mana pun. Tapi, jika bisa membuat mereka berhenti mengejar kami, itu cara yang jauh lebih baik.

Apa aku harus membunuh mereka? Tidak. Mereka belum tentu Monochrome, bukan? Bisa saja itu warga yang mencuri kendaraan milik Monochrome.

Banyak sekali spekulasi dan kemungkinan-kemungkinan yang aku pikirkan selagi terus berlari. Memikirkan sebuah cara sambil mencoba meraup oksigen. Sungguh, itu sangat sulit. Tapi, Kak Galaksi terus menyemangatiku untuk terus berlari. Aku tidak mungkin menyerah.

"Mereka mendarat!" seru Tante Nat.

Ya, helikopter itu mendarat di tengah ladang tepat di depan kami. Meski kami terus berlari, mereka pasti akan terus mengejar. Benar-benar percuma.

"Tante, siap-siap aja ngelawan manusia. Kita nggak tahu mereka siapa," ujar Kak Galaksi sambil mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal. Tangan kanannya menggenggam erat tangan kiriku yang sudah berkeringat dingin. "Al, tetep nunduk. Jangan tatap mata. Berdiri di belakangku."

Aku menggeser tubuhku untuk bersembunyi di balik tubuh kokoh Kak Galaksi. Aku pun melihat Rei juga bersembunyi, namun ia berdiri di belakang Tante Nat dengan kepala dimiringkan sedikit untuk mengintip. Wajahnya terlihat ketakutan, agak pucat karena berlari terlalu cepat menyamai kecepatan dan lebarnya langkah orang-orang dewasa.

Lima orang bersenjata api laras panjang, beberapa di antaranya tampak membawa pisau yang agak panjang, turun dari helikopter yang cukup besar seperti mampu mengangkut lebih dari 10 orang itu. Mereka berjalan ke arah kami, meninggalkan helikopter yang tetap berputar baling-balingnya, menciptakan suara bising yang sangat mengganggu, serta tekanan udara yang seakan mendorong tubuh untuk menjauh. Belum lagi, debu yang bertebaran karenanya.

"Kenapa kalian lari? Kami cuma mau nolong aja," kata lelaki dengan jenggot dan kumis tipis. Lelaki yang berdiri di tengah dan sedikit ke depan diantara lainnya. "Kalian mau nyebrang sungai, 'kan? Semua jembatan sampai Indramayu udah hancur. Kalian harus jalan seharian untuk sampai di jembatan dan bisa nyebrang."

"Nggak apa-apa, lebih baik gitu," tanggap Kak Galaksi. "Makasih, atas niat baiknya. Tapi, kami memilih untuk nggak percaya siapa-siapa."

Lelaki pertama tadi tak langsung memberi tanggapan. Ia memakai kaca mata gelap, tapi aku bisa melihat dan merasakan tatapannya. "Yah, nggak apa-apa, sih, kalau itu emang mau kalian. Tapi, perlu kami kasih tahu, kalau sepanjang jalan ke sana, nggak ada rumah penduduk, cuma sawah. Yah, memang nggak ada zombi atau monster, sih," tuturnya. Jelas sekali ia menakut-nakuti.

A-TEARS [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang