Lust

167 47 11
                                    

Krauss!!

"Alya?!"

Aku lebih baik menyakiti diri sendiri daripada menyakiti orang lain dan membuat mereka menderita. Aku menjilat darahku sendiri. Anyir, tapi rasanya manis. Meski bukan darah yang aku suka, tapi nafsuku tertekan.

"Jangan mendekat," ujarku. Dan, entah kenapa, aku merasa lebih baik dari sesaat sebelumnya. Seakan jantungku menjinak karena menjilat darah. "Aku nggak yakin bisa ngontrol nafsu. Aku ingin darah. Aku monster."

Kak Galaksi seakan tak peduli dengan ucapanku. Ia mengambil tangan kananku yang terluka oleh gigitanku sendiri, dua lubang gigi taring seperti gigitan vampir. Darahnya merembes keluar dari luka itu. Cukup banyak, tapi rasanya tak semenyakitkan seperti yang aku bayangkan. Lalu, ia membebat lukaku dengan sapu tangannya. Ia seakan tak takut.

"Ayo, naik," titahnya, setelah ia berbalik memberikan punggungnya.

Aku menggeleng. "Nggak." Aku bangkit perlahan-lahan. Tubuhku masih lemas dan nafasku masih sesak. Aku sampai bertumpu pada Kak Galaksi agar dapat berdiri. "Kalian harus menjauh dariku. Aku nggak mau lukain kalian," ujarku.

"Masih laper?" tanya Tante Nat, seraya menyodorkan coklat ke hadapanku. "Ganjel pake coklat. Mungkin bisa bantu nekan nafsumu."

Aku tergiurkan. Bukan pada coklat yang ia serahkan, tapi pada tangan putihnya. Aku seakan dapat merasakan aliran darah pada nadinya di sana. Dengan mata terpejam, lalu menggigit bibir bawahku sendiri, lalu aku mengambil coklat batang itu dengan hati-hati. Aku takut menyentuh tubuhnya. Takut semakin tergiurkan.

"Kenapa Kak Al jadi mau darah? Kak Al, 'kan, X-Gen, bukan vampir," ujar Rei polos, seraya mendekat ke samping Tante Nat. Tangannya mencengkeram baju Tante Nat. Aku yakin ia takut padaku. "Sebelumnya, 'kan, Kak Al nggak kayak gini. Apa yang Mesum itu lakuin ke Kak Al?"

Aku menghabiskan coklat yang diberikan Tante Nat. Manis, gurih, dan ada sedikit rasa asin. Enak, nikmat, dan benar, coklat berhasil menekan nafsu laparku. Oh, atau apakah aku sebenarnya benar-benar lapar? Padahal, pagi ini aku sudah makan, dan ini pun belum waktunya makan siang. Biasanya aku bisa menahan lapar. Tapi, rasa lapar ini berbeda.

"Maaf," cicitku. "Kalian jalan berjauhan denganku. Jangan deket-deket."

"Emang kamu bisa jalan sendiri?" tanya Kak Galaksi dengan tatapan dinginnya.

"Bisa, mungkin. Akan aku usahakan," jawabku, setengah tak yakin. Bahkan, untuk berdiri seperti ini saja aku mati-matian mengendalikan diri. Tapi, saat aku mencoba untuk berjalan, baru dua langkah, aku sudah luruh ke atas tanah. "Uuukh..." Jantung ini kembali berulah. Padahal, sebelumnya sudah tak sakit. Tapi, kini kembali sakit. Bahkan, kegelapan merenggutku dengan cepat tanpa peringatan.

Saat aku membuka mata, ternyata aku sudah berada di dalam sleeping bag milikku, berbaring di dekat tembok yang hanya tersisa setengah tinggi rangkanya yang tertinggal. Beratapkan langit malam yang cerah dengan bintang bertaburan dan bulan sabit yang berwarna sedikit lebih seperti kuning telur bebek.

Aku mendengar percikan kayu yang terbakar, mengalihkan perhatianku dari indahnya langit malam. Mataku seketika terbelalak saat melihat Kak Charles di seberangku berlumuran darah, kepalanya jatuh ke samping seakan tak bertulang, bibirnya membiru, dan bajunya compang-camping dengan luka gigitan di leher. Saat aku melihat ke arah lain, kondisi Tante Nat dan Rei tak kalah mengerikan. Posisi tubuh mereka seperti patah di sana-sini, darah membanjiri tubuh mereka.

Aku pun mengangkat kedua tanganku yang terasa dingin namun lengket. Mataku semakin terbelalak lebar saat ternyata semua tubuhku sudah berlumuran darah. "A-Apa yang udah aku lakuin..." Aku tak bisa mengendalikan diriku. Berkali-kali aku menatap mereka bertiga dan tanganku secara bergantian. "A-Aku yang... Nggak... Nggak mungkin! Ini nggak mungkin! Kak Galaksi... Tante Nat... Rei... Hiks... Nggak!"

A-TEARS [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang