Kondisiku begitu memburuk. Saking buruknya, aku pun tak menyangka kalau aku tertidur selama tiga hari dan tak terbangun sama sekali. Menurut cerita Tante Nat yang kulihat pertama saat aku membuka mata, Kak Galaksi sampai nekat mencari rumah sakit untuk membawakan keperluanku. Mungkin karena itu aku bangun dengan tangan terpasang infus dan aku bahkan dipasangkan kateter.
Jujur, aku kaget dan merasa malu. Tapi, Kak Galaksi tak terlihat bersikap aneh. Jadi, aku tak mau pusing sendiri.
Dari Karawang, kami pun melanjutkan kembali perjalanan kami setelah seminggu kami berdiam diri di hotel itu. Sebenarnya, aku ingin kami segera melanjutkan perjalanan, tapi untuk berdiri saja aku tidak mampu. Dan, satu minggu adalah waktu yang menurut Kak Galaksi sudah terlalu cepat untukku. Tapi, aku tak mau membuang banyak waktu.
Kini, kami sudah memasuki Subang setelah hampir seharian berjalan. Kami berjalan di sepanjang jalan yang bersebelahan dengan sungai. Subang bukan kota yang ramai penduduk, banyak sekali lahan perkebunan dan sawah yang kami lewati. Hanya sedikit rumah penduduk, itupun sudah hancur tak layak ditempati.
Dan, sejak kami memasuki Subang, aku merasakan sesuatu yang begitu ganjil. Bukan masalah sepinya kota ini, malah kalau rame akan sangat aneh. Namun, yang mengganggu pikiranku adalah bangkai anak-anak yang tak lagi utuh, tinggal tulang belulang.
"Apa anak-anak di kota ini sangat banyak, sampai nggak ada satupun aku lihat tulang orang dewasa?" gumamku.
Mendadak Kak Galaksi berhenti melangkah, membuatku yang berjalan di belakangnya pun menubruk tasnya yang besar dan keras itu. Kalau aku benar-benar tak sadar, hidungku akan mimisan karena menabrak tas kerasnya dengan keras.
"Kenapa, Kak?" tanyaku, sambil mengusap hidungku yang nyeri. "Waw."
Aku tak sadar, karena sejak tadi aku hanya melihat ke kanan dan kiri, berjalan lurus pun hanya mengkuti Kak Galaksi melalui sudut mata. Di depan kami, terdapat sebuah bangunan pabrik - mungkin. Papan yang menyebutkan nama pabrik itu ditutupi bagian belakang spanduk, lalu ditulisi dengan cat merah tegas.
"No kids allowed, huh?" sebut Tante Nat. "Apa ini ada hubungannya sama bangkai anak-anak yang kita lihat dari tadi, ya?"
"Mungkin," jawab Kak Galaksi. Lalu, ia menoleh ke kanan, menatapku yang baru saja bergeser ke sebelahnya. "Kita cari jalan lain aja. Kita bawa anak kecil. Feeling-ku nggak bagus soal ini."
Aku sadar siapa yang dia maksud. Ingin protes, tapi nyatanya aku memang masih kecil. Apalagi, tubuhku ini tidak tinggi, sangat tak meyakinkan meski kami berbohong dengan segala dalil. "Yaudah," ujarku ketus.
Tante Nat terkekeh-kekeh. "Harusnya kamu beruntung, dong. Coba kita nggak tahu apa-apa. Nggak tahu, deh, nanti bakal ada kejadian apa," ucapnya menghibur. Padahal, tak perlu ia hibur pun aku tak benar-benar kesal.
Kak Galaksi menbungkuk, memungut sesuatu yang menarik perhatiaku dan Tante Nat. Kami pun mendekati Kak Galaksi dari dua sisi berbeda. Aku harus sedikit berjinjit untuk dapat melihat tulisan di atas selebaran kusam yang dipungut Kak Galaksi.
Peneliti menemukan bahwa Zombizilla lebih tertarik pada anak-anak.
Peneliti juga menemukan bahwa Zombizilla dapat mengendalikan Zombi Tipe I dan Tipe II.Pusat Penelitian A-Tears
Surabaya, 28 Februari 2021Aku pun menatap Kak Galaksi dan Tante Nat bergantian. Aku jadi berpikir, apakah karena aku anak-anak atau karena aku adalah X-Gen yang mengundang Zombizilla saat kami di Karawang minggu lalu? Mendadak, aku merasa bersalah.
"Ini pasti salah," ujar Tante Nat tiba-tiba. Aku pun menatapnya. "Kenapa anak-anak yang disalahin? Mereka bahkan belum tentu ngerti situasi ini. Apa karena ini, banyak bangkai anak-anak di sepanjang jalan?" Aku bisa melihat amarah pada netra Tante Nat.
KAMU SEDANG MEMBACA
A-TEARS [COMPLETED]
Science FictionZombi dan monster bukan lagi sebuah mitos. Sekelompok teroris berhasil menciptakan senjata biologis yang mampu mengubah manusia dan hewan menjadi zombi dan monster. Tepat pada perayaan Tahun Baru 2021, dunia menghadapi krisis kemusnahan manusia dan...