Monochrome

171 60 8
                                    

Sejauh mata memandang, Pamanukan ini benar-benar hanya ada bangunan hangus, tanah gosong, dan debu abu. Tampaknya bukan kejadian baru, mungkin sudah lebih dari tiga hari, atau mungkin sudah seminggu. Jelasnya, di sini benar-benar tak ada kehidupan.

Saat ini kami sudah berada di pusat Pamanukan. Wilayah yang seharusnya sudah didominasi oleh bangunan rumah, kini sudah lenyap. Saking tak percayanya, kami berkeliling-keliling di antara jalan kecil, masuk ke dalam rumah yang tak bisa lagi disebut rumah, dan terus seperti itu sampai hari hampir gelap. Kami harus mencari tempat bermalam, tapi tak ada satu pun bangunan yang bisa disebut bangunan.

Satu-satunya tempat yang tampaknya masih bisa disebut bangunan adalah PTC Pamanukan. Masih ada papan nama di depan, tapi tulisannya banyak yang hilang hingga terbaca "P-C P-ANU-K-N". Tentu saja, hal itu membuat kami tertawa terbahak-bahak. Bahkan, Kak Galaksi yang minim tertawa itu bisa tertawa, meski tak sepuas tawaku, Tante Nat, ataupun Rei. Yah, hanya Rei yang tertawa dengan amat sangat keras.

"Masuk situ aja?" tanya Tante Nat. Kami berhenti di depan PTC Pamanukan ini, bimbang.

"Bahaya, sebagian udah kebakar gitu. Takut tiba-tiba rubuh," jawab Kak Galaksi. "Al, masih kuat jalan, nggak?"

"Masih, masih. Aku bugar banget hari ini. Kalau mau jalan lagi, aku ayo. Kalau mau tidur di tempat terbuka juga aku ayo. Kayaknya seru, kayak berkemah," tanggapku.

"Ya, mau nggak mau kita bakal kayak gitu kalau sampai satu jam ke depan kita nggak nemu bangunan yang layak buat dipake," tanggap Kak Galaksi. "Ayo, kita jalan lagi."

Kaki pun meninggalkan PTC Pamanukan, berjalan di jalanan dengan pemandangan langit sore menjelang malam dan bangunan hangus. Sekitar 15 menit berjalan, kami pun bertemu dengan sebuah sungai yang berwarna cokelat dengan jembatan di atasnya. Jembatan yang juga bernasib sama dengan rumah-rumah warga. Hanya saja, jembatan ini sepertinya dihancurkan, bukan dibakar.

Kami pun terdiam selama beberapa detik. Sepertinya, bukan hanya aku yang merasa syok dengan pemandangan ini. Peta yang sempat kami lihat sebelum memulai perjalanan, kami tak menemukan jembatan lain yang menghubungkan antara tempat kami saat ini dengan pemukiman di seberang sungai sana. Sudah begitu, aliran sungai ini terlihat cukup kuat, karena sudah berada cukup dekat dengan laut.

"Serius nggak ada jembatan lain, nih?" gumamku. Bukannya tak bisa berenang, tapi beresiko sekali kalau harus berenang, meski di pagi hari sekalipun.

"Ada, tapi jauh, dan nggak yakin masih layak," jawab Kak Galaksi. Lalu, ia memghela napas berat. "Mau nggak mau, kita berkemah."

"Asiiik!" seru Rei terdengar senang.

Saat kami berbalik untuk menjauh dari sungai dan mencari jalan lain, terdengar suara dari arah langit. Bukan suara langit mendung, tapi suara capung besi yang datang dari arah timur. Lampu sorot pada helikopter itu menyorot ke daratan, bergerak ke sembarang arah, seperti sedang melakukan pemantauan. Padahal, selama ini tak pernah ada yang seperti itu, kecuali para penyebar informasi.

"Sembunyi!" seru Kak Galaksi yang tiba-tiba menarik tanganku, lalu membawaku berlari dengan super cepat.

Di belakang kami, Tante Nat berlari sambil menarik Rei. Tubuh Rei yang kecil, serta Tante Nat yang membawa senjata cukup berat itu berlari agak jauh terpisah dari kami. Sesekali aku menoleh ke belakang, helikopter itu semakin mendekat. Jujur, aku pun tidak tahu kenapa Kak Galaksi malah menyuruhku untuk sembunyi. Padahal, seharusnya membiarkan mereka tahu, sehingga mudah untuk kami tiba di Surabaya dalam waktu singkat.

Di belakang masjid yang hangus dan tersisa sedikit rangkanya itu, terdapat sebuah pohon yang masih cukup rimbun, seakan tak terkena dampak pembakaran. Kami bersembunyi di bawah pohon, berjongkok, dan memastikan tak ada bagian tubuh kami yang terlihat. Mengingat langit sudah gelap, kami hanya berharap mereka tak sempat melihat pergerakan kami.

A-TEARS [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang