Government

120 41 6
                                    

Setelah mencoba bernegosiasi dengan Luciel, aku dan Kak Galaksi pun memutuskan untuk pergi ke UNAIR Kampus C, bertemu dengan Tante Nat, Rei, dan Jay. Kami berdua adalah perantara, dan kami akan mencoba membujuk pemerintah untuk mau bekerja sama dengan Luciel. Bukan atas nama pemerintah saja, tapi juga Luciel. Aku dan Kak Galaksi akan memastikan pemerintah tidak akan membuat Luciel kembali kesal. Kami punya kartu As.

Kami membawa beberapa berkas yang telah menjadi bukti hipotesa Luciel dan Ayah, namun tentunya tidak semua informasi akan kami berikan pada pemerintah. Bukannya tak percaya pada pemerintah, tapi menurut Ayah, kami harus berhati-hati pada pemerintah. Karena, kabar yang ia dengar, pemerintah tidaklah 'bersih'. Ada ikut campur seseorang dari pihak swasta yang ingin menguasai Indonesia di tengah wabah ini.

Entah kenapa, hanya satu nama yang terlintas di dalam otakku. Tapi, Ayah tak punya jawabannya, begitu pun dengan Luciel. Jadi, selagi kami ke sana untuk memberikan informasi, kami akan mengumpulkan informasi juga. Aku yakin, setelah dua malam berpisah dengan Tante Nat, Rei, dan Jay, mereka pasti sudah memiliki banyak informasi yang bisa dibagikan pada kami.

Kami tentunya tidak berjalan kaki. Luciel punya kendaraan banyak, entah itu mobil, tank, hingga sepeda motor. Kak Galaksi memilih sepeda motor, begitupun denganku. Udara terbuka akan menyegarkan, dan menggunakan sepeda motor akan membuat kami tiba lebih cepat dibanding dengan mobil. Juga, tidak akan boros bensin.

Dari tempat kami ke TDC hanya membutuhkan waktu 10 menit saja. Kami sengaja tidak terburu-buru, kami ingin menikmati suasana. Entah kenapa, suasana hatiku membaik semenjak bertemu Luciel dan Ayah. Pikiran-pikiran negatifku hilang, karena aku tahu mereka murni dan tulus memikirkan kemanusiaan, meski caranya memang tidak begitu baik. Tapi, tentu saja, aku akan menilai seluruhnya setelah mengetahui apa yang pemerintah pikirkan.

Perempatan UNAIR Kampus C dijaga ketat oleh orang-orang berseragam tentara. Bukan untuk melawan zombi, karena sepanjang perjalanan tidak kurasakan sebutir zombi-pun. Dengan senjata api dan senjata tajam, mereka seakan berjaga untuk melawan manusia. Tentu saja aku agak khawatir. Sebisa mungkin kami menempuh jalur damai daripada pertumpahan darah.

"Ada yang bisa kami bantu?" tanya seorang tentara yang maju meninggalkan barisannya untuk menghadang kami dengan cara lembut.

"Tiga hari lalu, ada tiga rekan kami yang ke sini, namanya Nat, Rei, dan Jay. Mereka bawa sampel darah X-Gen untuk diteliti di sini. Kami rekannya, dan ini X-Gen yang darahnya diambil untuk diteliti," jelas Kak Galaksi lancar sambil menunjuk ke arahku saat menyebutkan siapa aku.

Tentara itu menurunkan kesiagaannya, lalu ia berbalik memunggungi kami untuk berbicara dengan rekan-rekannya tanpa ada kata yang terucap, hanya tatapan mata. Lalu, tentara itu kembali menghadap kami. "Kami dengar, kalian pergi ke tempat Luciel. Bagaimana kami memastikan kalian tidak membawa bahaya?"

Bukan hal aneh jika mereka curiga. Aku dan Kak Galaksi pun sudah menduganya. "Kami mau berdiskusi dengan orang yang memimpin dari pemerintahan. Kami datang atas nama kemanusiaan, bahkan kami tak berpihak pada Luciel untuk saat ini," jelasku.

"Saat ini?" ulangnya.

Aku mengangguk. "Aku akan menilai siapa yang harus kudukung, 'kan? Kalau memang pemerintah yang benar, aku akan memihak pemerintah dan mengajak Luciel untuk bekerja sama. Juga sebaliknya," jawabku. "Kami membawa informasi dari Luciel untuk diberikan pada kalian. Ini tentang vaksin," tambahku.

"Tunggu sini. Kami akn menghubungi bagian dalam," kata tentara itu, lantas berbalik dan pergi ke arah gerbang bersama satu tentara.

Aku dan Kak Galaksi sedikit menepi dan duduk di bawah rimbunnya pohon yang di tepi luar pagar Kampus C ini. Aku duduk menempel pada Kak Galaksi, lalu menyandarkan kelalaku pada lengannya. Tidak, tinggiku tak sampai untuk bisa menaruh kepalaku di bahu Kak Galaksi.

A-TEARS [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang