Suhu tubuhku meningkat malam itu, mencapai 39 ⁰C. Semua yang aku makan, kembali aku keluarkan. Meski suhu tubuhku meningkat sampai aku berkeringat, tapi tubuhku menggigil hebat sampai rasanya aku ingin menyerah saja. Aku tidak tahu salahku di mana sampai kondisiku seperti ini. Aku benar-benar tersiksa dengan kondisi seperti ini. Bukan hanya jantungku yang sakit, tapi rasanya sudah sampai ke sumsum tulang.
Pada hari kedua saat suhuku mulai turun dan aku bisa berjalan ke kamar mandi meski dalam pengawasan, aku menyadari adanya iritasi mata. Aku kira awalnya itu karena suhuku terlalu tinggi sampai sklera mataku merah seperti berdarah. Tapi, kini aku paham. Sepertinya mataku terinfeksi karena memakai lensa kontak terlalu lama. Aku tak mau kehilangan mataku, aku masih membutuhkannya.
"Kak," panggilku dari dalam kamar mandi. "Masuk, Kak. Tolongin," pintaku.
Pintu kamar mandi memang tidak kututup, tidak boleh. Kak Galaksi pun membuka pintu kamar mandi, lalu masuk dan berdiri di belakangku. Aku membalikkan badan dan menatapnya dengan mendangak.
"Ada apa - Astagah." Bahkan ia terkejut. Tangannya menangkup wajahku, membuatku mau tak mau tak melepaskan tatapanku darinya. "Sakit?"
"Perih aja," jawabku sambil menggeleng. "Kayaknya aku harus lepas lensa kontaknya. Kalau Tante Nat dan Rei nanya, apa aku harus jujur ke mereka siapa aku?"
Kak Galaksi memindahkan tangan kanannya ke keningku, lalu ia menghela napas. "Emang cepat atau lambat mereka akan tahu. Tapi, kamu nggak apa-apa?" Ia terdengar khawatir.
Aku mengangguk tanpa pikir panjang. "Kalau mereka takut dan nggak percaya aku, aku akan misahin diri. Aku, 'kan, dari awal emang nggak mengikat mereka untuk ikut," jawabku.
Kak Galaksi pun mengangguk. "Yaudah. Kita kasih tahu mereka," putusnya. "Ini juga demi kebaikan kamu biar nggak setiap hari pakai lensa kontak. Kalau kita mulai jalan lagi, kita cari sunglasses untuk nutupin matamu."
Aku pun mengangguk. "Makasih, Kak."
Kak Galaksi pun menuntunku keluar dari kamar mandi setelah membantuku melepas lensa kontak. Jujur, mataku perih dan pedih sekali. Pantas mataku belakangan ini sering sekali mengeluarkan kotoran. Kata Kak Galaksi, sepertinya ini terjadi karena saat di Karawang, aku tidur lama dengan membiarkan lensa kontak tetap terpasang di mataku.
Tante Nat dan Rei sedang di dapur, menyiapkan makan siang kami dengan bahan seadanya, yaitu mi dan bayam liar. Setidaknya, kami masih bisa makan sayur dari tumbuhan liar. Tante Nat cukup paham tentang tumbuhan liar yang bisa kami konsumsi. Gizi kami cukup terpenuhi berkatnya.
Aku memutuskan untuk ikut makan di meja makan bersama yang lainnya. Saat Tante Nat dan Rei masih menyiapkan makanan di dapur, aku dan Kak Galaksi sudah duduk di meja makan. Aku memang gugup, tapi ini lebih baik untuk kami. Walaupun, mungkin mereka akan kecewa pada awalnya. Tidak masalah, aku masih punya Kak Galaksi.
"Makanan siaaap!" seru Tante Nat dengan semangat, sambil membawa satu panci dengan asap mengepul. "Taraa! Mi rebus! Terus -"
"Krupuk bayam!" sahut Rei sambil menaruh piring lebar dengan banyak sekali kripik bayam.
"Al udah bisa makan?" tanya Tante Nat, seraya mendudukkan dirinya di seberangku.
Aku mengangguk, lalu aku mengangkat kepalaku dan menatap Tante Nat dan Rei bergantian. "Ada yang -"
"Al, matamu kenapa?!" seru Tante Nat memotong ucapanku.
"Wah! Merah! Kereen!" seru Rei.
Aku terkejut melihat respon mereka berdua yang berkebalikan dari bayanganku. Hal itu malah membuatku tertawa. Tapi, karena masih lemas, aku hanya bisa tertawa lirih. "Aku mau ngomong sesuatu, tapi respon kalian nggak kayak yang aku bayangin," ungkapku, lalu aku kembali terkekeh-kekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
A-TEARS [COMPLETED]
Science FictionZombi dan monster bukan lagi sebuah mitos. Sekelompok teroris berhasil menciptakan senjata biologis yang mampu mengubah manusia dan hewan menjadi zombi dan monster. Tepat pada perayaan Tahun Baru 2021, dunia menghadapi krisis kemusnahan manusia dan...