Horde

194 59 9
                                    

Bagaikan Badai Zombi. Entah berapa jumlahnya, tapi aku sangat yakin jumlahnya ratusan, atau bahkan ribuan. Kami bagaikan sebutir gula yang diperebutkan ratusan semut.

Begitu kami meninggalkan San Diego Hills Memmorial Park, segerombol Zombi Tipe I mengikuti kami dengan kecepatan mereka yang masih bisa kami tandingi. Kami bahkan sampai bermain kejar-kejaran. Walaupun cara sebelumnya berhasil menghindarkan kami dari Zombi Tipe I berkat diriku, nampaknya saat ini tak bisa. Mereka bergerak kompak bagaikan pasukan perang yang dititahkan.

Ah, aku tak berani berpikir macam-macam.

Begitu kami tiba di jalan besar, ternyata segerombolan zombi juga bergerak ke arah kami, bergerak cepat dan kompak, menghasilkan debu-debu yang membumbung ke udara. Kalau ada drone yang merekam dari atas, aku yakin pemandangannya seperti badai pasir di gurun pasir. Kami yang harus berhadapan saja sudah bergidik.

Gerombolan zombi itu sepertinya karyawan peabrik-pabrik di sini. Kata Kak Galaksi, memang Karawang itu Kota Industri. Melihat pakaian yang mereka pakai, mereka pasti berasal dari pabrik yang sama, entah apa, aku tak peduli. Saat ini, kami benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan kami dari serangan gerombolan zombi.

"Gi-Gimana, nih?" Tante Nat bahkan suaranya sampai bergetar di tengah nafas memburunya. "Sa-Saya nggak bisa nembak mereka dari deket."

Kami sudah berhasil berlari samapi Bundaran Badami, kami sudah melewati jembatan yang di bawahnya mengalir sungai. Terdapat bangunan-bangunan yang bisa kami pergunakan, tapi kami harus menerobos gerombolan untuk bisa ke sana. Mereka seakan tahu bahawa kami butuh tempat, sehingga mereka menutupi tempat-tempat itu dari kami.

"Aneh."

"Apanya?" tanya Kak Galaksi.

"Kenapa mereka cuma diem aja?" tanyaku. Ya, kini aku sadar bahwa ribuan zombi di sekeliling kami tidak bergerak, hanya menggeliat-geliatkan tubuh dengan tak terkendali, sesekali mendesis atau meraung. "Kenapa mereka nggak nyerang kita? Kita udah dikepung gini, harusnya gampang, 'kan?" tanyaku lagi.

Kak Galaksi menoleh dan menatapku. Tatapan yang seakan mengatakan, "Bukannya kamu yang mengendalikan mereka?" Tanpa kalimat yang keluar, aku paham dengan maksud tatapannya.

Aku menghela napas. "Yaudah, aku coba." Lantas, aku melangkah meninggalkan Kak Galaksi dan Tante Nat yang terpaku di tengah bundaran.

"Eh! Kamu mau kemana, Al?!" Tante Nat langsung menahan langkahku dengan menarik tasku.

Aku hampir terjatuh kalau refleksku tak baik. "Mau nyoba," jawabku. "Kalau mereka nggak akan nyerang, kita bisa ke hotel itu untuk bersembunyi."

"Maksudmu apa?"

Kak Galaksi melepaskan tangan Tante Nat yang masih mencengkeram tasku. "Zombi-zombi ini nggak nyerang kita, Tan. Itu aneh. Biar Al yang nyoba mastiin, kita lindungin dia -"

"Kamu ngaco?!" seru Tante Nat. Ia menunjukkan ekspresi wajah yang sama persis seperti ekspresi yang ia tunjukkan ketika ia mencoba melindungi bayi yang terluka karena gigitan monster. "Al sakit, Gal!"

"Tante." Aku membalikkan badan menghadapnya, tentu saja aku tetap waspada, karena aku tak tahu mereka benar-benar tak akan menyerang kami atau akan menyerang saat aku lengah. "Di sini, siapa yang refleksnya lebih cepat dan bisa bertarung tangan kosong?" tanyaku.

Tante Nat membisu. Dengan kepala tertunduk, ia menjawab dengan bisikan, "Kamu." Tanpa bantahan.

"Oke."

Tanpa menunggu tanggapan apapun lagi, aku membalikkan badan memunggunginya, lalu berjalan ke arah gerombolan zombi yang masih berdiam tenang untuk beberapa saat. Tapi, ketika jarakku dengan mereka hanya 2 meter, mereka tampak gelisah. Namun, anehnya, mereka bergerak kecil-kecil seakan mendorong sesama zombi di dekat mereka hingga memberi sebuah celah selebar diriku.

A-TEARS [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang