"Masih banyak, ya?"
Sudah setengah jam sejak bel pulang sekolah berbunyi, Yumna dan Jordy masih di kelas. Tugas olahraga Yumna belum selesai, dia tidak bisa fokus setelah datang mimpi itu. Sementara Jordy masih mau di sini katanya untuk menemani Yumna. Padahal cewek itu bersikeras agar Jordy meninggalkannya, tetapi cowok itu malah main games.
"Gue udah minta lo buat pulang," ketus Yumna pada Jordy.
"Gak tau mau ngapain di rumah," ucap Jordy. "Rumah lo deket sini, ya?"
"Bukan urusan lo."
"Dari jendela rumah gue, kelihatan lo jalan kaki di trotoar ke sekolah." Kini Jordy menaruh ponselnya, "Rumah gue di apartemen yang ada di perempatan."
Sebelum berangkat sekolah, Jordy memiliki kebiasaan baru. Menatap pusat kota dari rumahnya yang dapat menenangkan sedikit hatinya. Dulu selama di Bali, rumahnya tidak tingkat dan kebiasannya adalah menatap beberapa pohon menjulang. Sementara di sini, rumahnya sangat tinggi. Ia dapat melihat berbagai hal-hal kecil, termasuk tubuh mungil Yumna yang berjalan sendirian menuju sekolah.
Yumna sempat berhenti menulis sebentar, dia memang selalu berjalan kaki beberapa meter dari stasiun melewati salah satu apartemen di daerah situ. Namun, dia nggak pernah menyangka kalau diperhatikan dengan seseorang.
"Dasar penguntit," ledek Yumna kemudian melanjutkan menulis.
Jordy terkekeh, dia selalu suka mendengar makian dari mulut pedas Yumna.
"Mana ada penguntit. Siapa suruh lo jalan lewat situ jadi kelihatan dari rumah gue."
"Oke, nanti gue bikin jalan baru biar nggak lewat sana lagi." Cewek itu meregangkan otot-ototnya setelah selesai menulis kata terakhir, selanjutnya dia menyatukan makalah yang telah selesai itu.
Gadis itu segera keluar untuk mengumpulkan tugasnya, melewati Jordy begitu saja. Sudah telat setengah jam, yang penting Pak Rangga masih ada di lingkungan sekolah.
Jordy yang paham Yumna sudah selesai mengerjakan tugas langsung mengambil tas. "Sialan gue ditinggal."
***
Hampir dua tahun Yumna sekolah di SMA Mentari, dirinya selalu berangkat dan pulang seorang diri. Jarak dari rumah ke sekolahnya memang cukup jauh sehingga mengharuskan Yumna naik kereta. Yumna yakin sih, banyak teman yang rumahnya pasti lebih jauh dari dirinya. Tetapi, selalu naik kendaraan pribadi atau diantar-jemput oleh supir. Mungkin hanya dirinya yang menggunakan kendaraan umum, bahkan dulu saat masih berteman sama Della dan kawan-kawan mereka dibuat kaget dengan pengakuan Yumna yang naik kendaraan itu. Yumna tidak pernah iri, masih bisa sekolah dan dikasih uang bulanan sudah sangat cukup untuknya.
"Lo tau, gue nggak pernah nyangka bisa tinggal di gedung tinggi." Saking seringnya sendirian, Yumna sampai lupa kalau di sampingnya ada orang. Jordy masih mengikutinya dengan embel-embel jalan rumah mereka searah. "Di Bali bahkan nggak ada bangunan lebih dari sepuluh lantai, tapi sekarang gue tinggal di lantai delapan belas."
"Menghormati para dewa." Meski singkat, Jordy cukup puas dengan respons Yumna yang ternyata mengetahui alasan tidak boleh membangun gedung tinggi.
"Hmmm, delapan puluh buat Yumna karena jawabannya singkat tapi hampir benar." Jordy bertepuk tangan dan hal itu membuat Yumna malu.
"Apaan, sih?" Cewek itu mempercepat jalannya meninggalkan Jordy. Tapi, dengan cepat disusul Jordy.
"Mau lihat pemandangan indah dari atas nggak?" tanya Jordy saat sudah dekat dengan pintu masuk gedung.
"Nggak."
"Rumah lo masih jauh dari sini?"
"Deket."
KAMU SEDANG MEMBACA
N O R M A L ✓
Ficção Adolescente[LENGKAP] Yumna itu cewek cantik dan pintar dari SMA Mentari. Beberapa cowok pun berusaha mendekat, tetapi hatinya sudah sekeras batu yang nggak mudah dilunakin begitu saja. Akhirnya, semua orang menyebutnya 'Tidak normal', hanya karena dirinya yang...