14. Birthday

288 81 9
                                    

"Happy birthday, Kak Yumna."

Di sebuah ruangan serba putih ini Yumna terduduk diam. Memerhatikan seorang pria dewasa yang berdiri beberapa meter di depannya.

Keningnya berkerut, berpikir untuk mengenali wajah di depan sana tetapi terlalu silau oleh cahaya. Namun, ia menyadari postur tubuhnya seperti, "Papa?"

"Anak Papa udah dewasa, ya? Tujuh belas tahun. Yumna nggak boleh berpikir pendek lagi, ini semua bukan kesalahan kamu. Semua orang sayang sama kamu." Orang itu menjeda dan perlahan cahaya yang menutupi wajah Papa hilang, sekarang benar-benar menunjukkan rupanya.

Mata Yumna sudah berkaca-kaca, betapa ia rindu dengan sosok itu.

"Hanya saja, kamu harus kuat dan bertahan lebih lama untuk menyaksikan semua itu. Kuat ya, Nak? Buat Papa, Mama, Bian, dan Arra."

Setetes air mengalir di pipinya. Yumna nggak bisa menahan cairan bening itu keluar dari matanya. Tenggorokannya tercekat, tak ada kata yang dapat keluar dari mulutnya.

"Papa pamit," ucapnya pelan. Wajah papa yang awalnya tersenyum, kini mulai mengerang. Ia meremas dada kirinya yang terasa sakit dan terlihat sebuah darah mengalir hebat dari sana.

"Pa! Papa!" panggil Yumna panik, hendak bangkit tetapi seperti ada yang menahan untuk bergerak. Hingga sebuah cahaya datang membuat Yumna nggak bisa lihat apa-apa lagi.

***

Mata Yumna terbuka lebar, ia menyapu bersih ruangan yang ia tempati ini. Masih di kamarnya, berati itu tadi hanya mimpi. Gadis itu mengusap wajahnya gusar sebelum mengecek tanggal di ponselnya. Ah benar, hari ini ulang tahunnya. Saking tidak ada yang mengucapkan selama ini —selain Key, membuatnya tidak pernah peduli dengan hari lahirnya.

Diambilnya sebuah bingkai foto kecil dan mengusapnya pelan. Di sana ada dirinya yang masih bayi di pangkuan Papa. Tanpa sadar, air matanya mengalir. Yumna selalu merasa bersalah dengan Papa dan keluarganya, apalagi di mimpi tadi ia benar-benar melihat bagaimana Papa pergi meninggalkannya dengan mata kepala sendiri.

Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka membuat dia dan orang yang membuka itu terkejut. Bian termenung melihat kakaknya yang menangis sambil menggenggam sebuah figura.

Yumna buru-buru mengusap pipinya, "Kenapa?"

"Belanja bulanan." Bian hanya menaruh kertas yang berisi catatan belanja, kemudian pergi.

Setelah selesai membereskan diri. Yumna segera turun dari kamar, Mama tengah menyeruput teh hijau di ruang TV untuk segera ke kantor.

"Hari ini nggak perlu masak, teman saya meminta kita mencoba masakan untuk bisnis kateringnya."

"Oke, Ma," sahut Yumna singkat lalu membuat susu untuk dirinya.

"Bian, kamu udah ambil legalisir rapot?" Dari dapur, Yumna dapat mendengar Mama bicara dengan Bian. "Daftar ulang terakhir besok, Mas. Kamu kok santai banget buat keperluan sekolah?"

"Baru dikabarin bisa diambil hari ini. Tenang aja, Ma."

"Arra ikut Kak Una belanja." Tiba-tiba Arra muncul dengan menenteng tasnya sehingga terlihat lucu.

"Di rumah aja sama Ibu," tolak Mama lembut. "Adek baru sembuh, nggak boleh keluar."

"Adek sehat, Ma! Kakak belanja, Mas sekolah, Mama kerja. Ndak mau sendirian!" rengek Arra.

"Dengerin Mama." Mama membawa Arra ke pangkuannya, "Kakak kamu belanjanya banyak, nanti capek."

"Arra kan di tolli." Arra masih membujuk, memang ia akan di troli belanja setiap pergi belanja.

N O R M A L ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang