39. Gerak

309 80 12
                                    

"Kenapa Kakak gak pulang-pulang?"

Gadis kecil itu selalu menanyakan hal yang sama begitu Bian pulang sekolah. Kini tepat hari kesepuluh, dia tidak melihat kakak perempuannya di rumah.

"Lagi berkemah sama sekolahnya, Ra."

Jawaban Bian tetap sama, menutupi kebenaran yang sesungguhnya. Mamanya yang meminta agar Arra tidak diberitahu masalah ini. Biasanya Arra langsung mengangguk lalu kembali menonton televisinya, tetapi kali ini dia mendelik --menatap Bian penuh curiga. Bian menggaruk ujung hidungnya yang nggak gatal, gugup.

"Bohooong! Kakak pernah cerita kalau ndak suka kemah, kenapa sekarang lama banget?" Anak itu mengerucutkan bibir. "Aku kangen, Kakak, emangnya kita ndak bisa telepon?"

"Di sana nggak ada sinyal."

Bian yang hendak naik tangga untuk menuju kamar menghentikan langkah. Dia berbalik, mendapati sang adik yang membuntutinya. Mata Arra basah, digenangi air yang sebentar lagi keluar. Rumah mereka sepi, Bu Lina langsung pulang begitu Bian sampai karena harus membantu keponakannya yang akan menikah dua hari lagi. Di luar hanya ada Pak Yudi --supirnya yang menunggu Bian karena Bian ingin ke rumah sakit mengantar flashdisk mama. Sementara mama mereka akan kembali tengah malam, hampir pagi. Kemudian berangkat lebih pagi lagi. Wanita itu selalu menyempatkan diri menengok anaknya setiap hari.

"Mas Bian bohongin Arra, hiks." Akhirnya tangis Arra pecah, pundaknya naik turun. "Mama juga bohong."

Bian yang melihat Arra seperti ini menjadi tidak tega. Tidak tahu kata-kata apa yang dapat menenangkan Arra. Bian lantas menggandeng Arra menuju kamar anak itu yang ada di lantai bawah. Sebelum masuk, Bian sempat mematikan televisi yang masih menyala. Meski tangis Arra belum berhenti, dia tetap mengikuti pergerakan Bian dan sama sekali tidak menolak ketika Bian mendudukinya di pinggir kasur.

"Arra udah mandi, kan?" Bian hanya memastikan, Arra sudah pakai baju tidur sore ini.

"Udah sama Ibu, hiks."

"Ganti baju, ya? Kita ketemu Kakak sekarang."

Meski awalnya bingung, akhirnya Bian memutuskan untuk membawa Arra. Lagipula, Arra akan sendirian di rumah lantaran pengasuhnya sudah pulang.

"Beneran?" Nadanya terdengar antusias.

Bian mengangguk, dihapusnya air mata yang masih mengalir itu dengan lembut. "Arra nggak boleh nangis kalau nanti lihat Kakak, biar Kakak nggak ikut nangis."

Sedetik kemudian, Arra memeluk erat Bian yang berjongkok di depannya. Bian membalasnya dengan nyaman.

Bohong kalau hati Bian tidak teriris setiap mengingat pertemuan terakhirnya dengan Yumna. Di sekolah, ia lebih banyak diam karena selalu dihantui perasaan khawatir sekaligus bersalah. Sekarang ia hanya pura-pura kuat di depan Arra agar Arra tidak ikut khawatir. Nyatanya Bian sendiri nggak pernah bisa menahan air matanya ketika melihat kakaknya belum sadar, dikelilingi alat-alat yang menakutkan.

***

Pukul tujuh lebih, mereka sampai di rumah sakit. Bian mengajaknya naik lift menuju tempat Yumna. Kebingungan Arra semakin terlihat, apalagi ketika pintu terbuka dan menyaksikan dokter berlalu-lalang.

"Kakak kemah di rumah sakit?"

Bian menelan ludahnya, "Arra nanti lihat aja, ya?"

Arra nggak banyak protes lagi, tangannya masih digenggam Bian. Rumah sakit ini besar, jarak dari lift ke ruang yang mereka tuju cukup jauh. Sampai akhirnya mata bulat Arra menangkap wanita yang cukup familiar.

"MAMAA!" panggilnya nyaring.

Sementara perempuan yang tengah mengotak-atik laptopnya terkejut. Putri bungsunya sedikit berlari. Keterkejutannya juga dialami oleh dua orang yang memang selalu menyempatkan diri ke sini setiap hari, Key dan Jordy.

N O R M A L ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang