19. Ancaman

300 80 13
                                    

Sudah satu bulan lebih kehidupan sebagai siswa kelas dua belas, semuanya makin terasa berat. Tugas yang tiada henti, try out setiap minggu, dan pendalaman materi. Hal itu membuat siswa di SMA Mentari semakin sibuk untuk mempersiapkan mimpi mereka.

Khususnya jajaran siswa yang teladan dan pintar, seperti Arvin misalnya. Rutinitasnya yang padat membuat dia jarang memikirkan tentang Yumna lagi. Tak jarang ia terlihat menyendiri dengan buku latihan soal.

Sebelum menaruh hatinya pada gadis itu, kisah percintaan Arvin selalu mulus. Dengan mudahnya, ia dapat menggandeng wanita cantik di SMP-nya. Ia pikir kisah cintanya di SMA akan semulus itu, ternyata tak seindah perkiraannya.

Terlalu asyik dengan bukunya, Arvin tersadar jam istirahat sebentar lagi berbunyi dan dengan segera ia berjalan ke kantin untuk mengisi perutnya. Teman-temannya sudah paham jika Arvin segiat itu dengan belajar sehingga jarang ada yang mengganggunya.

Dua orang yang duduk di sudut kantin dengan posisi yang membelakanginya menarik perhatian Arvin. Dia tersenyum kecut, ternyata selama ini Jordy menghilang di menit-menit terakhir istirahat untuk menemani Yumna makan. Dia tertinggal sangat jauh oleh teman baru yang selama ini terlihat mendukungnya.

Arvin ingin bergabung dengan mereka, tetapi kakinya tertahan untuk melangkah lebih dekat. Obrolan mereka terdengar akrab, meski Yumna hanya menjawab singkat. Apakah kini Jordy berubah dari pendukungngnya menjadi saingannya? Memikirkan itu membuatnya memilih untuk memutar tubuh dan makan di kelas karena tidak pernah membayangkan pertemanannya berantakan hanya karena cinta.

"Na, pas SD tempat Mami masih paling pinggir deh perasaan," kata Jordy setelah mengingat sesuatu.

"Pelebaran."

Jordy mengangguk-angguk. Dia sempat bingung, dulu posisi Mami di paling pinggir makam dekat dengan lintasan pejalan kaki. Dia juga heran kenapa Papanya Yumna bisa ada di samping Maminya padahal rentang waktu kepergian keduanya sangat jauh. Ternyata ada pelebaran kawasan makam.

"Lo masih kerja?"

Yumna mengangguk.

"Nggak ganggu belajar emang?"

"Biasa aja."

Jordy terdiam kagum. Dirinya yang tidak ada kegiatan apa-apa saja otaknya terasa ingin meledak. Kadang tubuhnya juga sangat lelah, mengingat waktu pulang sekolah lebih sore.

"Hebat," pujinya. "Kalo terlalu repot dan butuh bantuan, bilang aja."

Yumna mendelik. "Emang bisa bantu?" tanyanya dengan nada sombong.

"Aduh, salah ngomong gue mau bantu murid terpandai."

Karena sudah masuk sekolah, jam kerja Yumna hanya dari jam lima sore sampai delapan malam. Sabtu dan Minggu dari jam sepuluh pagi sampai empat sore, dan libur di hari Senin. Bang Evan menempatkannya sebagai kasir, awalnya dia ragu Yumna bisa mengoperasikan itu semua. Nyatanya Yumna benar-benar cepat tanggap dan mengerti, bahkan Bang Evan meminta Yumna untuk merekap pendapatan dan pengeluaran toko setiap akhir pekan.

***

Jam kosong dan tak diberi tugas adalah surga bagi seluruh siswa. Kelas Yumna menjadi ramai dan tidak teratur. Jordy ikut bermain kartu remi di barisan tempat duduknya dengan sebagian anak cowok. Arvin melanjutkan materi yang dibacanya. Yumna memasang earphone, Imelda sepertinya ikut bergosip dengan anak perempuan lain.

Yumna nyaris nggak pernah bicara dengan Imelda. Imelda terkenal dengan sifatnya cuek dan Yumna yang dingin. Mereka sama-sama orang yang jarang bicara. Yumna sedikit lega.

Baru dua lagu berputar, Imelda sudah kembali ke mejanya. Yumna mengabaikan itu, baru saat ia merasa tangannya ditepuk ia menoleh dan melepas sebelah earphone-nya.

N O R M A L ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang