32. Ikatan

267 74 7
                                    

"Kamu mau adiknya perempuan atau laki-laki."

Anak perempuan yang sedang mengunyah sarapannya di dalam mobil itu memutar bola matanya malas. Entah sudah pertanyaan ke berapa yang diajukan kepadanya setelah sang ibu dikabari tengah mengandung adik keduanya.

"Pengennya gak punya adik lagi," jawabnya asal. "Bian udah cukup karena dia nyebelin, reseh!"

Pria yang duduk di balik kemudi itu terkekeh, sangat paham dengan tingkah kedua anaknya yang berbeda. Putri sulungnya terkesan cuek, merembet ke galak sedangkan putra keduanya cengeng dan manja. Putrinya selalu mengeluh, soal adik laki-lakinya yang selalu mencarinya saat sekolah dasar untuk menangis jika dijahili oleh teman atau mendapatkan omelan dari guru.

"Kalau Mama denger, bisa shock nih kakaknya gak mau punya adik," ujar Papa.

"Bukan nggak mau, Pa, suka sebel kalau merengek." Anak itu menutup kotak bekalnya, "Kalau disuruh milih maunya cewek atau cowok, mau apa aja yang penting gak manja kayak Bian."

"Bian mau disayang sama kamu, Kak."

"Hmmm, aku juga sayang Bian. Tapi, gak tau deh kalau sifat anak-anaknya keluar ... nyebelin aja."

Dia berkata jujur. Sebagai anak perempuan pertama, selalu ada rasa sayang di balik sifat-sifat garangnya itu. Terlebih jika adiknya menangis, dia selalu ingin melindungi --meskipun terdengar menyebalkan. Kekehan dari papa terdengar lagi yang bikin gadis dengan seragam SMP itu mencibir. "Papa ketawa mulu!"

Papa menghentikan tawa dengan tetap menampilkan senyum. Ia menatap putri sulungnya ketika mobil berhenti di lampu merah.

"Bian percaya karena kamu Kakaknya, orang terdekat yang bisa lindungi dia. Siapa coba yang mau nolongin Bian di sekolah kalau Papa Mama gak ada di sekolah? Kamu, kan?"

"Tapi sekarang aku udah SMP, gak bisa siaga buat Bian kalau nangis-nangis di sekolah."

"Saudara itu bukan sebatas adik dan kakak, tapi juga ada ikatan. Jadi kalau Bian kenapa-kenapa kamu pasti bisa rasain, begitupun sebaliknya. Bian juga tau kok kamu sayang sama dia walaupun kamu galak." Papa mulai melajukan mobilnya lagi. "Jadi Papa minta, apapun yang terjadi kamu harus sayang sama adik-adik kamu, ya?"

"Hmm, pasti." Dia hanya asal menyanggupi tanpa benar-benar paham apa yang dimaksud sang Papa.

"Jadi, seneng gak punya adik lagi?"

"Seneng, tadi cuma bosen denger pertanyaan itu berkali-kali."

"Emang sebenernya kamu pengen apa?"

"Yang penting sehat, tapi cewek kelihatannya lebih nurut."

Papa mengangguk-angguk. "Walaupun kayaknya kamu masih malas punya adik lagi, percaya deh kalau lagi capek terus ngelihat anak kecil jadi seneng. Energinya bisa balik lagi, bisa nemenin kamu juga kalau bosen."

"Bisa disuruh-suruh juga," katanya santai. "Itu salah satu alasan pengen punya adik cewek."

"Dasar!"

***

Suasana pagi di dapur itu tampak sama, sibuk menyiapkan sarapan untuk aktivitas hari ini. Bedanya, yang mengelola dapur hari ini adalah seorang wanita berumur empat puluh tahunan --biasanya remaja tujuh belas tahun. Sejak pulang dari tempat kerjanya kemarin, anak perempuannya belum keluar kamar. Dia berasumsi kalau anaknya kesiangan, tetapi tidak yakin karena sudah setengah jam lebih berlalu belum ada tanda-tanda anaknya turun.

Tidak lama kemudian terdengar suara orang turun dari tangga, wanita itu melirik siapa yang turun dan ternyata anak laki-lakinya.

"Makanannya mana, Ma?" tanya Bian saat melihat meja makan yang masih kosong.

N O R M A L ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang