40. Belum utuh.

301 75 18
                                    

Suara sepatu yang beradu dengan lantai rumah sakit terdengar jelas. Seorang cowok berlari dengan seragam sekolah yang sedikit basah oleh keringat lantaran sore ini sinar matahari masih cukup menyengat kulit. Hanya ada dua dugaan yang mungkin terjadi jika menyaksikan seseorang tergesa-gesa di lorong rumah sakit:

Dugaan pertama tentang kabar buruk atau dugaan kedua tentang kabar baik.

Dilihat dari sudut bibirnya yang setengah terangkat, juga rautnya yang menyembunyikan kebahagiaan. Maka, kemungkinan yang terjadi adalah dugaan kedua --kabar baik. Di dalam lift yang sepi, barulah ia benar-benar tersenyum. Jemarinya menekan angka enam, tempat di mana kamar rawat kelas atas berada. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, ia selalu mengunjungi ruang ICU.

Tadi ketika tanda pulang sekolah terdengar, sebuah pesan masuk ke ponselnya.

Jordy, Yumna sekarang di lantai 6 karena sudah pulih. Temani dia sementara karena saya lembur hari ini.

Jangan bilang apa-apa tentang saya. Terima kasih.

Sebenarnya, Jordy sempat bingung dengan pesan tersebut. Selama ini, pengirimnya tidak pernah bekerja sampai larut. Kalaupun masih ada pekerjaan, pasti selalu mengerjakannya di sini seperti kemarin. Namun, saat semua harapan dan doa yang mereka panjatkan telah terkabul ... mengapa mamanya Yumna justru seperti menghindar?

Sebelas hari bukan waktu yang sebentar bagi mereka. Menunggu ketidakpastian dengan perasaan yang cemas. Selama itu juga, Jordy menjadi sedikit lebih kenal dengan orang yang merupakan ibu Yumna. Wanita yang terlihat tegas itu sorot matanya selalu redup, seperti menutupi kesedihannya. Jordy kira, hari di mana Yumna terbangun akan ada kejadian mengharukan. Nyatanya, hanya ia yang diminta datang sekarang.

Tepat ketika Jordy berdiri di depan ruang kamar yang disebut mama Yumna, seorang perawat ke luar.

"Suster," panggilnya, menunda untuk bertemu Yumna. "Pasien di sini, sadar sejak kapan?"

"Sekitar jam enam pagi dan baru dipindahkan jam satu siang karena dokter masih memantau perkembangannya."

"Belum ada yang datang selain saya?"

"Ibunya sempat mengurus administrasi untuk memindahkan di ruang ini, setelah itu langsung pergi."

Jordy terdiam beberapa detik, kemudian memberi seulas senyum. "Keadaannya gimana, Sus?"

"Masih lemah, jangan terlalu memaksanya berpikir. Kesadarannya belum sempurna."

"Baik, kalau begitu. Terima kasih."

Perawat mengangguk, lalu permisi kepada cowok itu. Kepergiannya membuat Jordy merasa sedikit canggung setelah sekian lama tidak bertemu.

Jordy memandang lorong yang tidak orang sama sekali. Wali kelas dan temannya di sekolah sempat beberapa kali bertanya untuk menjenguk, tetapi Jordy bilang nanti saja setelah Yumna sudah sadar. Sekarang Jordy senang, tentu saja. Yumna harus tahu kalau keadaan di sekolah sudah berubah, pendukungnya menjadi lebih banyak. Dia membayangkan Yumna yang nantinya akan memiliki banyak teman, hidup normal seperti yang lain, tanpa ada yang menghujat lagi. Akhirnya Jordy menggeser pintu dengan ragu.

Satu-satunya orang yang ada di kamar itu melirik untuk mengetahui siapa yang datang. Sayangnya, pergerakannya masih terbatas lantaran selang infus di tangan kiri dan gips yang terpasang di pergelangan tangan kanan. Perban yang melingkar kepalanya telah dibuka. Dia tidak tahu siapa datang, hanya dapat menunggu orang itu ada di dekatnya.

Jordy tidak berkata-kata sampai ia berada di dekat ranjang itu. Yumna yang sudah mengetahui siapa yang datang hanya bisa terdiam. Gadis itu bersyukur ada yang mengunjunginya, meski masih berharap yang pertama datang adalah keluarganya.

N O R M A L ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang