46. Normal || End

452 84 40
                                    

"Tetep ngambil Psikologi?" tanya gadis yang sibuk menahan rambutnya agar tidak terbang dibawa angin itu.

Kejadian menghebohkan itu sudah lama berlalu. Banyak orang yang lebih berbaik hati dengan Yumna setelah mengetahui fakta singkat itu. Telinga Yumna juga mulai panas oleh penggemar Bian, banyak yang mendadak titip salam dan ada beberapa yang titip kado padanya. Adiknya semakin narsis mendapati banyak penggemar.

Tidak ada hal-hal buruk yang menimpanya lagi. Sedangkan Tasya, memilih nggak bersuara sampai keadaan ingin lulus ini. Yumna tidak mau ambil pusing, walau gadis itu belum minta maaf sampai detik ini. Setidaknya melihat orang itu sudah bungkam, itu lebih dari cukup.

Jika ditanya sudah memaafkan atau belum, jawabannya belum. Yumna bukan tokoh baik hati yang bisa menerima semua dengan mudah. Apalagi, orang itu nggak ada itikad baik lebih dahulu. Namun, jika orang itu sendiri yang mendatanginya dan meminta maaf. Mungkin Yumna akan memaafkannya karena tidak mau menyimpan dendam.

Mereka sudah menyelesaikan ujian nasional, hanya menunggu surat kelulusan. Mayoritas siswa disibukkan dengan tes SBMPTN, termasuk Jordy. Yumna memutuskan untuk mengikuti mama yang ingin dia berkuliah di kampus swasta, mengambil kelas karyawan.

"Kok lo tau?" Jordy menatap curiga ke Yumna.

"Lo pernah ngomong."

"Kapan? Gue nggak pernah cerita sama lo kayaknya."

"Waktu ujian kelas sebelas. Lo ngomong mau ambil Psikologi, terus temen lo bilang, 'Wah cocok banget Jordy, bisa cheer-up orang yang lagi sedih'." Yumna menirukan suara manja dari seseorang yang masih terekam di benaknya. "Cie, jago banget semangatin Tasya. Kemarin dia juga sedih kok gak disemangatin?" ucap Yumna, meledek.

Jordy yang sudah ingat kejadian itu tergelak. Kala itu ia datang ke ruang ujian Yumna, berbincang dengan Arvin cs dan Tasya cs mengenai jurusan kuliah. Dia pikir, Yumna nggak mendengar, ternyata cewek itu mengingatnya sampai sekarang.

"Cie, ada yang nguping."

"Gak nguping, suara kalian yang kedengeran." Yumna mendengus sebal.

"Iya deh, atau lo cemburu gue semangatin Tasya?" Jordy balas meledek.

Yumna melotot tajam, mulutnya sedikit mengerucut, "Pede banget!"

"Iya gue ambil Psikologi."

"Bagus, gue bisa berobat gratis sama lo," canda Yumna.

Jordy menggeleng tegas, "Pas kita sama-sama lulus kuliah, lo harus udah sembuh, Yumna."

Gadis itu terdiam. Benar, ia harus sudah sembuh dan menerima keadaan mulai sekarang. Mimpi buruk itu memang terkadang muncul, tetapi tidak terlalu menyakiti. Yumna juga mencoba menepis bayang-bayang setiap kali berhadapan dengan lawan jenis.

Masalah itu nggak akan berlalu jika dia hanya berdiam diri.

"Pake ini." Jordy menyerahkan sebuah karet gelang yang ia simpan di kantong.  Yumna masih sibuk dengan rambut pendeknya itu. "Bekas nasi uduk, sih, tapi daripada lo ribet sendiri."

Yumna menerimanya, "Lagian aneh-aneh aja ngajak ketemu di sini!"

"Tapi bagus, kan?"

Atap gedung apartemen Jordy menjadi pilihan cowok itu. Jordy bilang, ini sebagai ganti jalan-jalan yang sempat tertunda. Memang belum bisa yang jauh-jauh karena belakangan ini Jordy ikut bimbel dan giat belajar untuk ujiannya. Nanti setelah semua selesai, baru deh jalan-jalan sungguhan.

Yumna tidak menjawab, tetapi terlihat menikmati semilir angin sore yang menerpa wajah mereka. Melihat kota dari ketinggian menjadi favoritnya sejak ke apartemen Jordy waktu itu.

N O R M A L ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang