Empat tahun terakhir, tidurnya tidak pernah tenang. Di tengah-tengah nyenyaknya tidur, mimpi itu selalu datang menghantuinya. Kejadian yang paling ia hindari terus diputar dalam benaknya membuatnya jadi sosok yang jauh dari kata kuat. Begitu terbangun, yang terlihat hanyalah dunianya semakin berantakan. Dia tidak dapat mengendalikan diri, hidupnya tidak seperti anak normal kebanyakan. Orang terdekat yang melahirkannya pun enggan mendekati atau menganggapnya ada. Dia sudah hancur berkali-kali karena tangannya sendiri.
Kilatan kejadian itu memang masih sering melintas di benaknya, ia menjadi takut menghadapi banyak orang. Ia hampir menyerah.
Namun, sepulang dari pemakaman yang ia hadari secara diam-diam hari itu --pemakaman Papanya. Dia seperti memiliki kekuatan. Lantaran orang yang tak dikenal memberikan kata-kata singkat yang berpengaruh untuknya agar tetap bertahan. Kendati dirinya penyebab dari semua masalah, ia menyadari bahwa masih diberi kesempatan untuk bernapas. Itu artinya, masih ada kesempatan untuk menebus kesalahannya sendiri sampai orang-orang memaafkannya.
Sekalipun yang ditaruhkan adalah nyawa berharganya.
***
"Ini yang Tante mau, kan?!"
Di lorong rumah sakit, tanpa permisi dan aba-aba. Suara pelan penuh emosi itu terdengar. Dua orang perempuan dengan pakaian formal kantor itu saling pandang dalam diam.
Perempuan lebih muda yang rambutnya digerai napasnya tidak beraturan. Sejak menerima telepon dari toko roti miliki kakaknya, perempuan itu langsung kalut. Ia sampai meninggalkan pekerjaan, mengendarai mobil dengan sembarangan, untungnya dia sampai di sini dengan selamat.
"Tante belum puas kalau Yumna belum jatuh!"
Sementara wanita yang diajak bicara ini hanya terdiam, menatap orang yang ia kenal sebagai guru home schooling putrinya dengan pandangan yang sulit diartikan. Sama seperti perempuan ini, dia juga terkejut mendapatkan telepon dari anak laki-lakinya. Saat itu dia baru sampai di bandara setelah tiga hari berdinas di luar kota. Langsung memanggil taksi untuk ke rumah sakit yang disebut anaknya. Hanya saja, ia tidak tahu perasannya sampai semua terasa hampa.
Begitu sampai di sini, ia melihat dua laki-laki yang duduk dalam gelisah. Salah satu dari mereka adalah anaknya, entah siapa yang satu lagi. Ia belum sempat bertanya apa yang terjadi, tetapi ada perempuan yang baru datang ini langsung menyerangnya.
"Mau sampai kapan Tante bikin Yumna menderita? Padahal itu semua udah takdir!"
Key --perempuan yang baru datang menahan diri untuk tidak membentak lebih keras. Namun, untuk menahan semua yang ada di pikirannya, ia nggak bisa. Dia paling tahu keadaan Yumna, apa yang dibutuhkan Yumna adalah permintaan maaf dari wanita di depannya ini. Key hanya mengeluarkannya lewat kata-kata tinggi penuh penekanan.
Gadis yang ditangani dokter di ruang khusus itu pasti akan marah besar jika mengetahui Key memarahi wanita ini.
Bian menunduk, perkataan dari Key secara tidak langsung juga menyindir keras dirinya. Perlahan-lahan pipinya mulai dibasahi air mata.
Hanya satu orang yang masih mencerna maksud perkataan Key juga menyaksikan wanita yang merupakan ibu dari temannya itu terdiam. Jika dia berasumsi, maka ia akan menganggap kalau hubungan Yumna dengan keluarganya nggak baik. Dia mengingat-ingat saat pertama kali melihat Bian di tukang nasi goreng malam itu yang membuat Yumna menangis. Bian, adik Yumna sendiri tidak menganggapnya sebagai kakak.
Kemudian perkataan Arra saat mereka nggak sengaja bertemu di mall, "Mama nggak inget, ya, Kak? Arra nggak pernah lihat Mama kasih kado ke Kakak." Yumna dilupakan oleh ibunya juga.
Rasa penasaran Jordy semakin besar, tetapi mendengar semua perkataan ini seolah telah menyusun kerangka jawaban dari pertanyaannya selama ini. Takdir. Kata yang disebut perempuan yang menahan tangis itu. Apa maksudnya menyangkut kematian? Jika iya, berarti penyebab dari Yumna dijauhi keluarganya berkaitan dengan sepotong berita yang pernah ditunjukkan Yumna malam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
N O R M A L ✓
Fiksi Remaja[LENGKAP] Yumna itu cewek cantik dan pintar dari SMA Mentari. Beberapa cowok pun berusaha mendekat, tetapi hatinya sudah sekeras batu yang nggak mudah dilunakin begitu saja. Akhirnya, semua orang menyebutnya 'Tidak normal', hanya karena dirinya yang...