"Kakak, Arra gambar gunung." Begitu Yumna membuka pintu, adik bungsunya langsung menghampiri Yumna dengan gambar di tangannya.
"Good job, Arra," sahut Yumna tanpa semangat, berlalu begitu saja setelah mengusap singkat kepala Arra.
Wajah manis Arra yang tadinya bersinar langsung mendung begitu saja. Tumben banget Kak Yumna tak memeluknya dengan perasaan bahagia atau paling tidak bersorak dengan antusias saat Arra memerkan hasil karyanya. Arra jadi sedih, apakah dia punya salah sama Kak Yumna, ya?
"Bu Lina, Kak Una marah ya sama Arra?" tanyanya dengan tatapan yang polos.
"Kakak mungkin capek, Ra. Ayo makan dulu." Bu Lina membawa piring yang berisi sosis goreng dan nasi.
"Arra ndak mau makan."
Daritadi Arra sangat susah disuruh makan, tidak seperti biasanya. Bahkan sampai sore begini, baru masuk tiga sendok makan. Padahal tadi pagi Yumna masak ayam tepung dan capcay kesukaan Arra dan sekarang Bu Lina berusaha dengan menambahkan sosis goreng.
"Sedikit aja, ya?"
Arra menggeleng dan milih untuk berbaring di sofa ruang televisi.
"Arra perutnya sakit?" tanyanya.
Arra menggeleng lagi, "Ada yang kocok-kocok perut aku," ucap Arra nyaris tak terdengar kalau saja rumah ini ramai.
Bu Lina langsung mengangguk paham. Pantas saja, sedari tadi Arra nggak nafsu makan. Ternyata perutnya mual, dikasih makan apa pun tidak akan berpengaruh kecuali makan bubur.
"Kemarin emangnya Arra makan apa?" tanya Bu Lina, lembut.
"Tapi Bu Lina janji, ya jangan bilang-bilang Kak Una?" Bu Lina hanya mengangguk supaya Arra jujur. "Makan keripik pedasnya Mas Bian yang ada di kulkas."
"Arra makan banyak?" Terdengar helaan napas berat. Memang mama mereka sedang dinas ke luar kota selama seminggu ke depan dan Bu Lina tetap pulang seperti biasanya karena Yumna bisa menjaga Arra. Tetapi mungkin kedua kakak Arra sedang sibuk semalam, membuat mereka tidak mengawasi Arra.
"Sedikit, soalnya pedas."
"Arra pindah dulu ya ke kamar?"
"Bu Lina harus janji nggak bilang-bilang ke Kakak. Sebentar lagi Arra sembuh kok!" seru Arra dengan suara yang lemas tetapi dibuat semangat, menggemaskan!
"Iya, sayang."
Sementara itu, di kamarnya Yumna menatap dirinya dari pantulan cermin. Tidak terasa sebentar lagi dia akan mencapai masa terakhir sekolah. Setahun lagi Yumna akan lulus, dia bahagia akan melepas diri dari lingkungan sosialisasi yang nggak sehat. Sebetulnya sudah tidak tahan melanjutkan sekolah di sana.
Dianggap asing, dikhianati, disebar gosip, dipandang tidak normal, dan masih banyak lagi.
Tetapi dia bisa apa selain belajar dan mengikuti semua aturan di usianya yang masih belia? Tidak ada alasannya bertahan selain mendapatkan nilai tinggi agar ijazahnya bagus, dan segera mendapatkan pekerjaan. Serta...
Cewek itu nggak sengaja merasakan sesuatu di dalam saku rok sekolahnya yang belum ia lepas. Ia mengeluarkan dari sana dan langsung menaruh atensi penuh pada benda yang tadi sore diberikan oleh teman sebangkunya.
Konyol.
Yumna tiba-tiba tertawa seperti orang gila. Bisa-bisanya tingkah aneh Jordy yang terbesit di kepalanya saat ia berpikir alasan bertahan.
"Mikirin apa, sih? Aneh banget lo, Yumna!"
***
"Ah iya, tadi gue ketus banget sama Arra sampe belom nengokin," bisik Yumna.
KAMU SEDANG MEMBACA
N O R M A L ✓
Roman pour Adolescents[LENGKAP] Yumna itu cewek cantik dan pintar dari SMA Mentari. Beberapa cowok pun berusaha mendekat, tetapi hatinya sudah sekeras batu yang nggak mudah dilunakin begitu saja. Akhirnya, semua orang menyebutnya 'Tidak normal', hanya karena dirinya yang...