"Rasain! Bagus deh gue gak perlu capek-capek bikin celaka tuh orang." Setelah wali kelas mereka menyampaikan kondisi mengenai salah satu siswanya di kelas itu, Tasya langsung memamerkan senyum liciknya. "Karma karena dia udah sok jagoan selama ini, hahaha."
Suasana senyap menyelimuti kelas itu. Semuanya sibuk dengan kegiatan masing-masing, sebagian ada yang masih terkejut dengan berita yang dibawa wali kelas mereka. Ucapan Tasya yang sering membawa pengaruh itu diabaikan, bahkan dua sohib terdekatnya yang juga selalu mendukung untuk menjatuhkan Yumna, ikut terdiam. Tasya menyadari bahwa sosoknya tidak dianggap menjadi geram.
"Ih kok diem, ini yang kalian pengen selama ini juga, kan? Biar orang nggak normal yang paling sok cantik dan sok pintar itu musnah." Dia sudah bangkit dari duduknya, berjalan ke arah papan tulis. "Bisa aja bukti yang dikirim cuma editan, makanya itu balesan."
"Only your wish, I think," sahut Clara yang mulai jengah. "Lo beneran udah gila, Tas."
"Sumpah, bukannya dulu lo juga benci dia? Haha, lo tuh dibegoin cuma karena bukti yang dia kirim, Clar."
"Lo yang begoin kita," kesal Clara. "Kemarin-kemarin kita mungkin terpengaruh sama ucapan lo, tapi sekarang enggak! Gak usah usaha lagi karena lo udah kalah."
Mendengar kata kalah membuat telinga Tasya panas. Tatapannya menghunus manik Clara, tetapi Clara nggak takut sama sekali --justru balas memelototinya. Anak yang lain hanya menyaksikan kesekian kalinya tingkah aneh Tasya. Tidak mau menggubris lebih lanjut.
"Lo gak lihat, Chika sama Della bahkan nggak sahutin omongan lo. Lo udah kehabisan dukungan, miris."
Tasya langsung menaruh perhatiannya kepada dua nama yang disebut Clara. Bukannya membalas tatapan, Chika dan Della justru membuang muka. Sial, Tasya sudah kehabisan segala cara agar kelas ini berpihak kepadanya.
"Kenapa lu benci banget, sih? Sekarang Yumna butuh doa dari kita. Kalo lu gak mau doain, ya udah diem aja." Imelda ikut bersuara. "Perilaku kayak gitu nggak etis, Tas, seenggaknya lu harus tau tata krama untuk menyikapi sesuatu yang bersangkutan sama nyawa orang."
"Gak bisa! Dia musuh gue, gue benciii."
"Kenapa? Semua orang tau dulu kalian deket, tapi lu mau manfaatin dia doang. Kalian sadar nggak, sih? Kalo kita juga termasuk orang jahat karena kemakan sama omongan Tasya?" Imelda bertanya ke teman-temannya. "Terlepas dari kecelakaan itu ... justru sebelumnya kita juga bikin hidupnya terluka, mungkin Yumna udah kritis berkali-kali dan dia juga bangun berkali-kali."
Suara Imelda bergetar. Dia merasa terlambat menjadi teman Yumna. Sejak kejadian pensi di kelas sepuluh, di saat Marcell menyatakan cinta dan Yumna dijauhi semua, semestinya Imelda sudah membuka tangan untuk menjadi temannya. Semestinya Imelda menyadari kalau dari awal hubungan antara Yumna, Tasya, dan kawan-kawan itu nggak sehat. Semestinya Imelda bisa menolongnya lebih awal.
Beruntung guru di dua jam sebelum istirahat ini berhalangan hadir. Sehingga mereka dapat membicarakan masalah ini.
"Terlalu iri sampai membenci itu nggak baik, Tasya." Imelda kini memfokuskan perhatian menatap Tasya. "Gua gak pengen lu nyesel di kemudian hari akibat tingkah lu selama ini."
"Gak usah menggurui gue!!!" Tasya menghentakkan kakinya dengan cukup keras, kilat kemarahan sangat tergambar dari wajahnya.
Imelda memilih tidak menyahut lagi, sudah lelah meladeni Tasya. Sementara Jordy sedari tadi hanya menahan emosi. Tasya seolah gadis yang tidak memiliki hati walau secuil, kendati dulu Jordy juga sempat dekat dengannya. Jordy pernah tertipu dengan perilaku lembutnya yang ternyata sekejam ini.
Selang beberapa lama, bel istirahat memecah ketegangan yang ada di kelas itu. Mayoritas langsung bergegas ke luar karena sudah merasa pengap terjebak dalam atmosfer yang semakin panas itu. Jordy masih menatap ponsel, menunggu bukti yang akan dikirim Marcell. Dia berharap itu dapat menjadi sesuatu yang bisa membuat Tasya sadar, tetapi jika tidak ... jahat nggak sih kalau Jordy berpikir Tasya punya gangguan jiwa?
KAMU SEDANG MEMBACA
N O R M A L ✓
Ficção Adolescente[LENGKAP] Yumna itu cewek cantik dan pintar dari SMA Mentari. Beberapa cowok pun berusaha mendekat, tetapi hatinya sudah sekeras batu yang nggak mudah dilunakin begitu saja. Akhirnya, semua orang menyebutnya 'Tidak normal', hanya karena dirinya yang...