"Kak Odi!"
Baru saja Jordy memasuki area lobi rumah sakit, seorang gadis kecil memanggilnya. Tidak butuh waktu lama untuk cowok itu menemukan sumber suara. Netranya langsung menemukan Arra yang duduk manis di salah satu kursi tunggu dekat resepsionis, Jordy segera menghampirinya.
"Arra sama siapa?" tanyanya karena tidak melihat siapa pun di sisi Arra.
"Mas Bian lagi ke toilet," jawab Arra sembari menggoyangkan kakinya yang tidak menyentuh lantai itu. "Kamu udah tau belum, Kak Una udah bangun?"
"Udah dong, makanya aku ke sini."
"Aku seneng bangettt, mau peluk kakak." Anak itu melengkungkan bibir sampai matanya menyipit membuat Jordy mencubit pipinya gemas.
"Ra, aku punya ide." Jordy mengacungkan jari telunjuknya ke samping kepala seperti seorang detektif yang baru saja memecahkan misi rahasia. "Aku pernah bilang mau kasih Kak Una kue, kan? Gimana kalau kita kasih sekarang?"
Arra tampak berpikir, "Emang sekarang kakak aku ulang tahun?" cetus anak itu polos.
Jordy tersenyum simpul, "Kasih kue nggak perayaan ulang tahun, Arra. Arra kasih kue ke Kak Una untuk perayaan karena kakak udah bangun, mau nggak?"
Bocah yang sekarang dikucir dua mengangguk kan kepalanya antusias sampai dua rambut yang diikat itu bergerak. "Nanti kakak tiup lilin, kan?"
"Iya, Arra boleh pilih kue dan lilinnya."
"Arra, ayo." Dari arah samping, Bian menghampiri mereka. Cowok kelas sepuluh itu sempat terkejut melihat ada teman kakaknya lagi siang ini. Selama di rumah sakit, Bian nggak pernah lihat Jordy absen mengunjungi Yumna. Dua cowok itu sesekali mengobrol kemudian terdiam canggung.
"Bian, gue sama Arra keluar dulu, ya?" Jordy meminta izin kepada Bian sebagai kakaknya Arra ini.
"Ke mana?"
"Beli kue, Mas Bian." Arra yang menjawab dengan mengerjapkan mata genit, entah anak itu belajar darimana.
"Buat apa? Kita udah makan, Ra."
"Buat rayain Kak Una udah bangun," jelas Arra. "Kak Una ndak pernah tiup lilin kalo ulang tahun, kata Kak Odi sekarang aja kasih kuenya."
Satu fakta yang diucap Arra membuat hati Bian mencelus. Telah lama keluarganya melewati satu momen berharga setiap tahun setelah papa meninggal. Sebetulnya Bian nggak pernah lupa tanggal lahir sang kakak di akhir Mei itu, tetapi dia selalu mengabaikan.
"Oke," tukas Bian singkat. "Mas langsung ke kakak aja, ya?"
"Ayo beli kue." Arra menyelipkan tangannya ke tangan Jordy, gayanya seperti orang dewasa yang menggandeng pacar. "Dadah, Mas!"
Arra dan Jordy berjalan menjauh dan lama kelamaan menghilang dari pandangan Bian. Lelaki itu bergegas menuju kamar kakaknya. Adik laki-laki Yumna itu malu karena selama ini ikut membenci Yumna menuruti kemauan egonya. Padahal dulu dia adalah orang yang paling tidak bisa ditinggal Yumna barang sejengkal. Bian merutuki diri sebagai orang paling bodoh sedunia. Yumna tetap kakak yang menyayanginya, semestinya Bian dapat ikut melindungi Yumna.
Bian sempat menghela napas sebelum menggeser pintu kamar kakaknya itu.
Yumna tengah membaca materi yang ada di modul langsung tersenyum cerah begitu mengetahui ada Bian. "Aku kira kamu nggak dateng."
"Hm, dateng." Bian menyalakan televisi untuk memecah keheningan. "Kak Na nggak usah belajar, belom sembuh," ucap Bian tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi.
Mengetahui adiknya yang perhatian, tetapi malu-malu itu, Yumna terkekeh. "Bosen tau." Namun, setelah itu Yumma menutup materinya. "Aku mau keluar, jalan-jalan di sekitar sini aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
N O R M A L ✓
Dla nastolatków[LENGKAP] Yumna itu cewek cantik dan pintar dari SMA Mentari. Beberapa cowok pun berusaha mendekat, tetapi hatinya sudah sekeras batu yang nggak mudah dilunakin begitu saja. Akhirnya, semua orang menyebutnya 'Tidak normal', hanya karena dirinya yang...