Perasaan aneh menyelimutinya ketika sepanjang langkah, ada saja yang menyapanya atau sebatas memberikan senyum. Yumna bisa merasakan semua orang di sekolah ini secara tiba-tiba berbuat tidak biasa --menganggapnya ada dan bersikap baik. Dunia memang terus berputar, Yumna tahu itu, tetapi dunia di hidupnya cukup cepat berputar. Bahkan seingatnya, di hari terakhir ia bertemu teman-temannya masih ada yang bicara sinis ketika Yumna ikut menyaksikan futsal. Keadaan yang berbeda ini belum pernah ia pikirkan, sehingga ia belum terlalu siap untuk bersikap.
Seharusnya Yumna senang karena hidupnya perlahan normal. Hanya saja ... apakah mereka sungguh berubah karena menyadari perbuatannya salah atau hanya sekadar kasihan dengan kondisinya yang sekarang? Apakah jika ia tidak mengalami kecelakaan mereka tetap akan ramah begini? Yumna sudah lelah menerka-nerka perlakuan orang sehingga dia memilih segera ke kelas.
"Na, gue mau ngomong."
Dia tercekat tatkala seseorang dari belakang menyalipnya begitu saja, lalu berhenti di depan sembari menatapnya. Perbedaan tinggi yang jauh itu membuat Yumna mendongak dan orang itu menunduk. Yumna mengenali cowok tegap berkulit sawo matang ini, Marcell.
"Lo udah sehat?" Dari gelagatnya, Yumna tahu ini hanya basa-basi, sepertinya ada yang ingin disampaikan Marcell
Yumna mengangguk sekali, "Mau ngomong apa?"
"Soal Andrew."
Mendengar nama itu, Yumna sedikit kaku. Yumna dan Marcell sudah nggak pernah bicara lagi, tetapi kini dia justru memilih topik itu untuk membuka percakapan setelah sekian lama.
"Gue sebenernya tau, kalo lo cuma dipermainkan sama angkatan mereka. I mean, Andrew nggak pernah serius sama lo," lanjut Marcell. Melihat Yumna yang membuang muka, membuat Marcell justru nggak enak. "Maaf, karena gue milih diem selama ini."
Yumna menghela napas, lalu kembali menatap 'teman lamanya' ini. "Marcell, pasti lo paham kalo ini bukan obrolan pembuka yang baik di hari pertama gue masuk sekolah."
"Gue gak bisa nahan ini lebih lama, ini salah gue, Na."
"Itu nggak bisa balikin keadaan kayak semula, Cell. Semuanya udah terlanjur," ujar Yumna. Di sekitarnya sudah mulai banyak murid yang menjadikan mereka pusat perhatian.
"Iya gue emang pengecut, gue minta maaf." Dari matanya, Yumna menemukan titik penyesalan di sana. Tapi, kenapa baru sekarang?
"Kalo lo minta maaf karena gak gerak padahal tau gue cuma bahan mainan mereka, nggak usah merasa bersalah. Lagipula, semua orang benci karena ulah gue sendiri yang nolak lo bukan cuma karena gue nolak Andrew." Gadis itu menatap ke sekeliling di mana orang-orang semakin ramai, sekadar penasaran.
"Bukan cuma itu, tapi gue minta maaf atas semua perlakuan gue yang ikut mengabaikan lo. Mungkin kalo gue bilang dari awal, nggak semuanya perlakuin lo kayak gini."
Yumna menggeleng, lalu tertawa renyah. "Lo ngasih tau atau cuma diem, rumor jelek tentang gue bakal tetep ada. Pada dasarnya kalian emang gak suka karena gue agak berbeda. Jadi, ya, kalian berlomba-lomba buat jatuhin gue, kan?" Yumna diam sejenak untuk mengambil napas. "Gue ragu, kalo gue nggak koma kemarin ... apa kalian bakal senyum ramah ke gue dan apa lo bakal repot-repot ngomong empat mata sama gue begini?"
"Mulai sekarang, mari bersikap biasa aja. Lupain masalah Andrew dan segala rumor jelek itu. Mungkin, ini terdengar narsis atau terlalu percaya diri, tapi nggak usah berlebihan setiap ketemu gue apalagi pake tatapan kasian gitu. Gue udah baik-baik aja dan terbiasa. Tolong, jangan bikin masa terakhir gue di sekolah ini semakin runyam." Entah mengapa, pembicaraan Yumna sudah mengarah ke seluruh orang yang ada di sini. Masa bodoh, jika ada yang mencibirnya lagi. "Makasih karena udah minta maaf. Gue maafin, Cell."
KAMU SEDANG MEMBACA
N O R M A L ✓
Teen Fiction[LENGKAP] Yumna itu cewek cantik dan pintar dari SMA Mentari. Beberapa cowok pun berusaha mendekat, tetapi hatinya sudah sekeras batu yang nggak mudah dilunakin begitu saja. Akhirnya, semua orang menyebutnya 'Tidak normal', hanya karena dirinya yang...