"Na, matematika gue delapan tiga!"
Di depan ruang aula saat semua siswa sibuk memasang sepatu, Jordy berseru senang. Hari ini adalah pengambilan rapor semester ganjil dan anak kelas dua belas diminta agar datang ke sekolah untuk penyuluhan tentang perguruan tinggi.
Perempuan yang baru selesai mengikat tali sepatunya itu, menatap horor ke Jordy karena tingkahnya yang memalukan itu. "Selamat."
Berucap dengan tidak niat, Yumna memilih menjauh dari kerumunan. Jika tidak ada kewajiban datang seperti ini, dirinya tak pernah datang saat mengambil rapor. Lagipula, mama selalu mengambil rapornya pagi-pagi di ruang guru karena harus pergi ke kantor setelah itu.
"Lo gak lupa sama kesepakatan waktu itu, kan?" Jordy mengekori Yumna.
Gadis itu mengatupkan bibirnya. Dia tidak melupakan kesepakatan aneh yang mereka buat waktu itu. Yumna tidak berniat untuk mengingkari janji, hanya saja ia masih ragu untuk berdua di tempat umum. Walaupun orang itu adalah Jordy.
"Inget."
Mendengar itu, kedua sudut bibir Jordy terangkat. Yumna terlihat malu-malu mengucapkannya dan Jordy bisa mengetahui sisi lain dari temannya itu --menggemaskan. "Jadi, kapan?"
"Dua hari sebelum masuk sekolah," jawab Yumna mantap.
Jordy hendak protes, tetapi diurungkan. Lebih baik mengangguk setuju dibanding Yumna berubah pikiran.
"Sebentar, ya, Na, Papi manggil gue." Jordy mengangkat ponselnya dan tertera sebuah pesan dari ayahnya.
Yumna mengangguk, setelahnya Jordy menghilang menaiki tangga menuju kelas. Kaki Yumna melanjutkan langkah. Entah mengapa, lapangan indoor di SMA Mentari menarik perhatiannya. Sebelumnya Yumna beberapa kali ke sini seorang diri, menghindari keramaian yang bikin dia penat. Bisa saja dia langsung pulang, tetapi Jordy minta untuk menunggunya sehingga dia memutuskan untuk ke tempat itu.
"Kok gue jadi nurut banget sama dia?" Gadis itu bermonolog ketika duduk di kursi penonton. Dia bahkan mengeluarkan ponsel untuk menghubungi temannya itu kalau dia ada di sini.
"Yumna!"
Bukan, itu bukan panggilan dari suara bariton milik Jordy, melainkan suara nyaring dari seorang perempuan. Tiga perempuan yang Yumna kenal mendekat ke arahnya.
"Belom pulang? Atau lu juga mau nonton pertandingan futsal kayak kita?"
Pertanyaan dari Imelda menciptakan kerutan di kening Yumna.
"Arvin minta tanding futsal hari ini sama anak Gelora. Astaga, kumpulan para cogan!" Wajah Clara berbinar, berbeda dengan Yumna yang terkejut. "Karena Arvin berhasil ngeraih peringkat satu seangkatan, Na. Peringkat lo dibalap Arvin."
Yumna nggak peduli sama perkataan Clara selanjutnya, fokusnya hanya kepada nama sekolah yang disebut gadis itu. Dua kali, sekolah adiknya berkunjung ke sini dan itu membuatnya gugup mengingat pertemuan terakhir mereka di sini yang nggak baik.
Suasana lapangan itu semakin riuh. Yumna masih duduk di kursi penonton bersama Imelda, Clara, Hani, dan Jordy yang menyusul. Banyak yang menatapnya heran karena ini adalah hal yang langka mendapati sosoknya berkumpul di tengah-tengah keramaian itu.
"Dia mau caper sama Arvin?"
"Bukan, dia mau pamer kalo udah punya temen."
Jordy memerhatikan Yumna yang terlihat mengabaikan suara-suara dari barisan eksis itu. Mata Yumna memerhatikan barisan penonton yang ada di seberang --tempat sekolah lawan.
"AHH, ITU DIA BARU DATENG!" Teriakan histeris dari belakang mendorong Yumna untuk menoleh ke pintu masuk. Lapangan didominasi oleh jeritan wanita begitu seorang laki-laki berjalan di area pinggir lapangan, menghampiri sekolahnya. Yumna sampai tidak percaya kalau banyak yang mengagumi sosok itu. Sama seperti yang lain, mata Yumna nggak berhenti mengawasi gerak-geriknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
N O R M A L ✓
Teen Fiction[LENGKAP] Yumna itu cewek cantik dan pintar dari SMA Mentari. Beberapa cowok pun berusaha mendekat, tetapi hatinya sudah sekeras batu yang nggak mudah dilunakin begitu saja. Akhirnya, semua orang menyebutnya 'Tidak normal', hanya karena dirinya yang...
