"Bude gue pergi." Jordy dengan cepat memotong ucapan Yumna, tiap katanya penuh penekanan. "Orang yang gue anggep sebagai Ibu gue udah nyusul Mami juga, Na."
Cowok yang biasanya tampak semangat ketika ingin menghiburnya itu kini terlihat lemah. Berbeda jauh dari hari-hari sebelumnya yang Yumna lihat. Perempuan yang sedari tadi meracau banyak kata itu terlihat terkejut, lidahnya kelu untuk mengeluarkan sepatah kata demi membalas ucapan temannya ini. Hanya satu kata yang melintas di benaknya: bersalah.
Suara deru kendaraan tak berhasil memecah keheningan keduanya. Mereka masih tenggelam dalam pikiran masing-masing, terlebih Yumna yang menyadari sikapnya barusan keterlaluan.
"Sekarang hari Senin, lo libur, kan?" Jordy membuka suara lagi. "Kita bicara di apartemen aja gimana?"
Beberapa detik Yumna tidak menyahuti sampai ia menggeleng lemah sebagai bentuk penolakan. Dia menunduk sambil berbisik pelan yang nyaris terdengar, "Gue takut," cicitnya.
"Oke gue gak akan maksa, tapi semakin menghindar perasaan itu semakin menghantui."
Ada hal lain yang membuat Yumna resah saat pikiran jeleknya yang mulai menguasai diri dan Yumna nggak dapat mengendalikannya. Fakta yang barusan dikeluarkan Jordy tentang kematian, mengingatkan dirinya akan kejadian dulu. Satu minggu berlalu di mana Jordy menyelamatkannya dari serangan panik, mengatakan kalau orang itu sebenarmya mengetahui kondisi Yumna dan ingin melindunginya. Lalu setelah itu, Jordy mendapatkan berita buruk.
Haruskah orang yang berkata hendak melindunginya selalu bertemu dengan mimpi buruk yang menimpa mereka? Di benak Yumna, dirinya lah sumber masalah persis seperti mama yang nggak mau memaafkan kesalahannya. Yumna kira setelah ia mencoba percaya menerima orang baru lagi, tidak akan ada orang yang tersakiti. Namun, orang itu justru tengah terluka. Terlihat jelas dari sorot matanya yang sayu.
"Jadi gimana?" Mereka masih sama-sama berada di trotoar, Jordy menunggu Yumna yang bergeming.
Dua buah cangkir berisi cokelat panas yang mengeluarkan asap itu tersaji di depan Yumna dan Jordy. Hanya mereka yang berada di unit apartemen ini lantaran papi masih mengurus surat-surat kematian kakaknya. Yumna menautkan kedua tangan di atas kain yang ia kenakan, sesekali menggenggamnya karena jantungnya berdebar. Akhirnya dia memilih ke rumah Jordy sebentar, rasanya seperti ada yang ingin disampaikan cowok itu.
"Kata satpam, ada guru sama temen yang ke sini."
"Iya. Lo gak izin ke wali kelas emangnya?" Suara Yumna terdengar lebih pelan dari biasanya.
"Gue izin, Na, tapi kayaknya salah ngetik nomer. Pesannya masih ceklis satu."
"Kabarin yang lain?"
Jordy membawa tubuh menyandar pada sofa, kemudian mengembuskan napas. "Nggak sempet."
"Maaf dan turut berdukacita, ya." Yumna mencicit seraya mengigit bibir.
"Makasih ... minum dulu, Na." Jordy mendorong cangkir ke arah Yumna dan cewek itu meneguknya sekali. "Na, lo tau alasan gue paham kalo lo punya trauma?"
"Karena lo lihat gue bertingkah nggak biasa?" tebaknya.
"Itu salah satunya, tapi sebenernya lebih dari itu." Jordy meneguk liur sebelum melanjutkan, "Gue kayak ngulang masa-masa masih kecil di saat gue pertama kali cuma tinggal berdua sama Papi, gue sering lihat Papi kacau."
***
Anak laki-laki yang belum genap berusia enam tahun itu terbangun tengah malam. Di sampingnya ada saudara yang tertidur pulas, anak itu masih terasa asing dengan keadaan kamar sementaranya itu. Papi bilang, mereka akan segera pindah dari sini jika menemukan tempat tinggal baru yang ia nggak tahu kapan tepatnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
N O R M A L ✓
Teen Fiction[LENGKAP] Yumna itu cewek cantik dan pintar dari SMA Mentari. Beberapa cowok pun berusaha mendekat, tetapi hatinya sudah sekeras batu yang nggak mudah dilunakin begitu saja. Akhirnya, semua orang menyebutnya 'Tidak normal', hanya karena dirinya yang...
