Lega.
Itulah yang Yumna rasakan setelah dia membagi sedikit kisahnya dengan Jordy. Sudah terlalu lama Yumna menahannya sendiri, menyembunyikan perasannya di balik selimut --dari teman-teman seusianya-- sehingga apa yang ia lakukan selama ini mungkin aneh di mata mereka. Yumna akui itu, sikapnya memang kaku, jauh dari kisah-kisah menyenangkan anak remaja sebab rasa bersalah itu selalu menghantuinya. Masalah Yumna bukan masalah 'sepele' seperti apa yang mereka pikirkan.
Bukan sebatas anak 'tidak normal' karena tidak membuka hati dengan laki. Bukan sebatas 'tidak normal' karena selalu kasar. Ada alasan terbesar di balik itu semua. Ditambah sikap mereka yang selalu memojokkan Yumna. Rasanya sudah tidak ada alasan lagi untuk bersikap baik kepada teman seusianya.
Namun, atas kejadian tadi --ketika harga dirinya diinjak oleh mereka, Yumna merasa butuh pembelaan dari orang lain, bahwa ia nggak seburuk itu. Dan, pembela itu hadir merangkap sebagai murid baru sekaligus mantan teman sebangkunya di kelas sebelas yang juga memiliki kisah pilu seperti dirinya.
Usai menangis dan mengungkapkan semuanya tadi, Jordy tidak bersuara lagi. Di matanya ada sorot tulus seolah mengatakan 'jangan khawatir', itu sudah lebih dari cukup dari apa yang Yumna harapkan dan beban di bahunya sedikit terangkat. Setelahnya, Jordy menawarkan diri untuk mengantar Yumna pulang dan Yumna nggak sanggup menolak karena tubuhnya lemas jika harus mengingat kejadian itu.
Jordy adalah teman pertamanya di SMA Mentari yang tahu rahasia dan tempat tinggalnya. Yumna percaya Jordy tidak berubah selepas mengetahui ini semua.
Begitu suara mobil Jordy terdengar menjauh dan akhirnya menghilang di belokan sana, Yumna menatap kosong rumahnya ini. Ia menyadari, akan ada beban baru yang menantinya di dalam, apalagi melihat mobil mama yang sudah terparkir rapi di garasi.
Segera ia naik ke atas untuk bersih-bersih. Ia sempat bertatapan dengan Bian yang baru ke luar dari kamarnya, adik laki-lakinya itu menatapnya malas sambil bicara,
"Buruan turun, laper."
Hubungan Yumna dengan Bian terasa semakin jauh. Padahal Yumna tidak mau membahas sama sekali tentang pertemuan tidak sengaja mereka di SMA Mentari. Yumna cukup tahu diri untuk tidak mengusik hubungan pribadi Bian. Ia juga mengerti alasan jawaban Bian yang seolah tidak mengenalnya itu, meski ia masih terluka jika mengingat kejadian saat Bian tidak menganggap dirinya.
"Saya perlu bicara sama kamu."
Yumna terperanjat begitu keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya, mendapati mama duduk di atas ranjang dengan tangan menyilang dada.
"Tapi, Bian--"
"Order makanan."
Yumna meneguk salivanya. Tubuhnya terkunci, ia masih berdiri di atas keset kaki.
"Kamu pasti tau kenapa saya di sini," ujar Mama dengan nada yang dingin --selalu dingin jika bicara dengannya--.
Di sekolah, gurunya menghubungi orang tua Tasya dan Yumna untuk melaporkan tindakan yang mereka lakukan. Yumna sempat dengar sedikit kalau guru BK-nya itu menasihati mama untuk mengawasi aktivitas Yumna apalagi mengaitkannya perihal perguruan tinggi. Sungguh, pembicaraan klasik yang Yumma tahu itu menyita banyak waktu mama.
"Maaf."
Mama menatap anak sulungnya, meski jaraknya lumayan jauh, Yumna merasa diintimidasi. "Saya ditelepon sekolah kamu saat ada rapat penting. Kamu gak pernah pikir panjang sebelum bertindak, gimana kalo seandainya suara guru kamu terdengar di ruangan saya? Gimana seandainya saudara yang lain tau perbuatan kamu itu?"
Terdengar embusan napas lelah yang keluar dari mulut mama, "Jangan mentang-mentang kamu punya prestasi atau nilai yang bagus, itu semua nggak menutupi apa-apa kalau kamu nggak bisa mengontrol emosi. Ada banyak hal yang bisa kamu lakuin kalau memang menolak memberi contekan, bukan malah menampar."
KAMU SEDANG MEMBACA
N O R M A L ✓
Teen Fiction[LENGKAP] Yumna itu cewek cantik dan pintar dari SMA Mentari. Beberapa cowok pun berusaha mendekat, tetapi hatinya sudah sekeras batu yang nggak mudah dilunakin begitu saja. Akhirnya, semua orang menyebutnya 'Tidak normal', hanya karena dirinya yang...
