37. Ungkap

316 77 8
                                    

Getaran itu semakin menjadi ketika netranya menangkap sebuah bangunan yang menjadi tempatnya menuntut ilmu. Jemarinya yang menggenggam kanan-kiri tali tasnya diremas kuat. Seminggu berlalu sejak kejadian tidak mengenakan itu, hari ini  ia kembali ke sekolah --lebih tepatnya dipaksa. Suara-suara dari sekelompok siswa yang tadinya menyenangkan, berubah menjadi yang menyeramkan bahkan sampai telinganya berdengung cukup lama. Ia tidak paham kondisinya, perlahan pelipisnya juga dibasahi peluh. Ia tidak sanggup, tetapi tidak dapat menolak keputusan mama.

Jaketnya tidak dilepas begitu sampai kelas, padahal aturannya tidak boleh mengenakan jaket di area sekolah. Banyak teman yang menegur tetapi telinganya seolah tuli. Sampai akhirnya, seorang cowok yang baru datang ketika bel berbunyi menghampirinya. Ada senyum yang terlukis di wajah manis cowok itu.

"Yumna kenapa? Sakit?" Suaranya lembut. Kedua obsidian itu menatapnya dengan damai, tetapi sang gadis justru memutus kontak itu.

"Naa, Bu Ima kelilingg. Buruan lepas jaketnya kalo gak mau disita." Perempuan jangkung dengan wajah blasteran itu berkata nyaring setelah mengintip guru BK-nya sudah sampai di kelas sebrang. "Ada-ada aja pake kelilingan si Gempal," ocehnya sembari sibuk memakai gesper.

Yumna tetap bergeming, pemandangan luar sekolah lebih menarik perhatiannya.

"Gue lepasin, ya." Airlangga hampir menggapai ritsleting yang menutupi tubuh Yumna, tetapi gadis itu memiliki respons yang cepat untuk menepisnya.

"Jangan sentuh!"

Bukan hanya Air yang keheranan, tetapi hampir seisi kelas mendengar suara ketusnya. Mereka tahu interaksi kedua orang itu belakangan ini bahkan ada yang mengira mereka sudah menjalin hubungan, tetapi semua langsung berubah sekejap sejak Yumna tidak memunculkan batang hidungnya di sekolah.

"Pergi sana!" usirnya sangat sinis.

"Jaket lo."

"GUE GAK MAU BUKA, JANGAN MACEM-MACEM SAMA GUE!"

Semua orang terkejut, terlebih Air yang ada di dekatnya. Kemudian Yumna langsung menjatuhkan tubuh ke meja dengan tangan yang menutupi dada.

Beruntung, Bu Ima tidak masuk ke kelasnya. Namun, hampir seluruh guru yang mengajar di kelas tujuh itu memintanya untuk melepas jaket. Gadis itu menurutinya, hanya sebentar lalu membungkus tubuhnya rapat.

Hari-hari berikutnya, ia semakin parah. Hanya karena guru lelaki yang mengajar sembari keliling kelas, ia gemetar hebat. Saat jam olahraga paling parah, ia histeris hanya karena diminta mengganti seragam, tetapi yang masuk ke telinganya adalah ia diminta melepas seragam. Ditolaknya semua perhatian dari teman-teman --terutama lelaki jika ada yang tetap mendekat ia akan kehilangan kesadaran.

Sosok Yumna yang dikenal ceria langsung berubah menjadi murung. Sehingga gurunya melaporkan ini kepada orang tua dan yang dilakukan oleh mama adalah mengusirnya dari rumah sekaligus mengubah sekolahnya menjadi home schooling.

Sampai sekarang, orang-orang di SMP itu tidak tahu alasan perubahan sikap dan kepindahannya yang terlalu mendadak.

***

Wanita yang belum pulang ke rumah sejak semalam itu menatap putri sulungnya dengan wajah yang sendu. Pukul enam pagi, anaknya baru dipindahkan ke ruang ICU dengan berbagai alat yang melekat di tubuhnya. Dirinya hanya sendiri setelah memaksa Bian dan dua teman anaknya pulang di saat waktu sudah terlalu larut semalam. Tidak banyak yang dilakukan hanya duduk-berdiri-jalan di sekitar ruang tunggu.

Baru ketika dokter mengatakan operasi berhasil ia bisa bernapas lega. Hanya sebentar, dokter melanjutkan ucapannya, "Tetapi kondisinya terlalu parah karena pendarahan cukup banyak. Kami tidak dapat memastikan kapan kesadarannya pulih." Rasanya lemas hingga tak dapat mengungkapkan apa yang ia rasa.

N O R M A L ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang