11 - PUNISHMENT

4.7K 558 45
                                    

Kini Echa, Ravindra, Arqian, Rayden, dan Bastian sedang berdiri dengan posisi hormat di lapangan guna menjalankan hukuman yang tadi diperintahkan oleh buk Tuti sampai bel istirahat berbunyi.

“Panas banget,” keluh Echa dengan wajah yang sudah banjir oleh keringat.

“Berapa lama lagi nih? Udah nggak tahan lagi gue,” tanya Rayden seraya mengibaskan tangannya ke wajah.

“Empat puluh lima menit lagi, sabar.”

“Sabar pale lo.”

“Pegel,” kata Echa merengek dan dia mendudukkan diri di lapangan.

Buk Tuti yang melihat dari arah pinggir lapangan di bawah pohon rindang yang sedari tadi mengawasi mereka langsung berteriak guna menegur Echa, “ALVIA, SIAPA YANG SURUH KAMU DUDUK?”

Echa yang mendengar itupun spontan langsung berdiri kembali. Dia berbalik badan menatap buk Tuti berada. “UDAHAN, YA, BUK. NANTI KALO SAYA PINGSAN GIMANA? IBUK MAU TANGGUNG JAWAB?”

“YA KALO KAMU PINGSAN, TINGGAL DIGOTONG RAME-RAME DONG. BAWA KE UKS.” Buk Tuti balas berteriak yang membuat Echa jadi memanyunkan bibirnya kesal.

“Beneran deh, ini panas banget. Mana kaki gue pegel lagi,” monolog Echa dengan tangan yang berkacak pinggang. “MAMA, TOLONGLAH ANAKMU YANG CANTIK INI.”

“Heh, nggak usah teriak. Heran, suka bener kayaknya teriak-teriak,” tegur Ravindra.

“Echa mau pingsan ajalah rasanya,” gumam Echa pelan, tapi dapat didengar oleh sahabatnya dan dia tak menghiraukan teguran Ravindra.

“Nah, iya. Pingsan aja, Cha. Nanti kita gotong rame-rame bawa ke UKS,” suruh Bastian antusias.

“Iya tuh, jadikan cepet selesai nih hukuman,” imbuh Rayden menyetujui.

“Mana bisalah, pingsan kok di rencanain.”

“Pura-pura pingsan maksudnya.”

“Nah, kalo yang kayak gitu baru bisa. Buru, Cha.”

“Ya kali gue pingsan yang gotong empat orang, satu dari kalian juga udah cukup kali. Berasa gede banget badan gue sampe empat orang yang mau gotong,” balas Echa memutar bola matanya malas.

“Lah, iya juga.”

“Tapi tadi kata buk Tut digotong rame-rame. Jadi, ya boleh-boleh aja dong,” ujar Rayden ragu-ragu.

Echa cemberut. “Itu mah omongannya doang, palingan yang dibolehin juga satu orang.”

“Oh, gini aja. Cha, lo pura-pura pingsan, terus gue yang gendong lo ke UKS. Gimana, oke nggak?” tanya Bastian semangat yang membuat Ravindra, Arqian, dan Rayden jadi tak terima, beda dengan Echa yang malah jadi tertawa.

“Enak di lo, nggak enak dikita bertiga, dongo.”

“Lo sama Echa ngadem di UKS. Lah kita bertiga? di sini panas-panasan,” gerutu Rayden menatap Babas kesal.

“Pengen tak hih.” Arqian meremat kedua tangannya gemas dengan mengertakkan giginya.

“Ya terus gimana lagi? Masih lama nih bel istirahatnya bunyi, gue udah nggak tahan.” Bastian merengek seraya mencak-mencak di tempat.

Mereka yang lain tak memperdulikan Bastian, lanjut melaksanakan hukuman mereka dengan mulut yang tak hentinya mengerutu kesal.

Hingga tiba di mana, saat sepasang netra Ravindra tak sengaja melihat ke arah pinggir lapangan yang di mana buk Tuti tadi duduk di sana dan sekarang guru BK itu sudah tidak ada lagi di sana. Ravindra mengibas-ngibaskan tangannya entah pada siapa tanpa menatap mereka, bermaksud untuk mengajak mereka mengikuti arah pandangnya.

Sequoia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang