12 - SASIMO

4.1K 534 55
                                    

Saat di perjalanan menuju rooftop sekolah, banyak bisikkan-bisikkan siswa dan siswi yang membicarakan mereka. Ada yang memuji ketampanan dan kecantikkan mereka, serta tak jarang juga ada yang menatap iri dan sinis ke arah Echa karena selalu dikelilingi oleh empat pemuda tampan yang sukses membuat kaum perempuan iri dan ingin sekali berada di posisi Echa sekarang.

Tetapi, itu sama sekali tidak dihiraukan oleh mereka berlima. Lanjut berjalan dengan santainya padahal mereka tau bahwa sepuluh menit lagi bel masuk akan berbunyi.

Baru saja akan menaiki tangga, Echa tiba-tiba merasakan ingin buang air kecil.

“Kenapa?” tanya Ravindra saat Echa yang berhenti melangkah dan membuat yang lain juga ikut berhenti kala mendengar pertanyaan Ravindra itu.

“Gue mau nganu,” sahut Echa asal.

“Nganu apaan?”

Ambigu, bego.”

“Mo pipis,” jawab Echa cengengesan.

“Kirain apaan. Ya udah, ayo kita temenin.”

“Eh, nggak, ya. Lo berempat duluan aja, ntar gue nyusul,” tolak Echa secara langsung.

“Kita anter,” tegas Ravindra, Arqian, Rayden, dan Bastian kompak yang membuat Echa jadi sedikit terkejut.

“Ish, nggak usahlah. Gue bisa sendiri, udah sana duluan aja,” balas Echa segera berlari ke arah toilet tanpa mendengar protesan keempat sahabatnya.

Ravindra, Arqian, Rayden, dan Bastian pun pasrah dengan netra masing-masing tertuju pada punggung Echa yang semakin lama semakin mengecil. Setelah tak melihat punggung Echa lagi karena sudah menghilang di balik tembok pembatas, keempatnya melangkah kembali menaiki satu persatu anak tangga menuju lantai tiga yang di mana rooftop itu berada.

Echa kini sudah sampai di depan toilet dan langsung saja dia masuk ke dalam toilet yang ternyata sepi, tak ada siapa pun di sana.

Tak berselang lama setelah menuntaskan buang air kecilnya, Echa berdiri di depan cermin guna melihat dan sedikit merapikan rambut, serta bajunya yang sedikit berantakan.

“Gas, meluncur,” monolog Echa.

Dan disaat dia sudah berbalik badan ingin keluar toilet, ternyata sudah ada empat kakak kelas yang menghalangi jalannya, berdiri tepat di depan pintu toilet itu berada.

“Permisi,” ujarnya pada kakak kelas yang sedang berdiri dengan angkuh menatap ke arahnya.

“Eits, mau ke mana?” tanya salah satu dari keempat kakak kelas itu, Sandra namanya. Di samping kanan-kiri Sandra ada Sintia, Dea, dan Putri.

“Mau keluarlah, minggir,” sahut Echa malas. Pasalnya keempat kakak kelasnya ini selalu saja mengusiknya.

Echa mencoba untuk keluar dari toilet, tetapi lagi dan lagi dia langsung dihalangi oleh Sandra dan ketiga temannya itu.

“Kak.”

Sandra hanya menaikkan alisnya menantang yang membuat Echa greget kepengen nampol.

“Minggir, Allahu.

“Kalo gue nggak mau?”

“Apa, sih, ah? Nge-fans banget kayaknya lo sama gue. Ngusik gue mulu, heran.”

“Kita nggak bakalan ngusik lo kalo aja lo nggak cari masalah sama kita.” Kini giliran Sintia, salah satu teman Sandra itu yang angkat bicara.

Echa mengerutkan dahi bingung, “lah, emangnya sejak kapan gue cari masalah sama kalian? Bingung juga gue, kenapa selalu gangguin gue? Gue aja nggak tau masalah apaan yang gue cari.”

Sequoia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang