Althaf dan keempat sahabatnya kini berada di kantin, mereka duduk di meja pojok yang di mana meja mereka tersebut bersebelahan dengan meja yang diisi oleh Renifa, Lisa, Levi, dan Jejes. Ya, keempat gadis itu memang duduk terpisah karena tidak mau terlalu menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di kantin.
Mereka tadi pergi ke kantin bersama. Tampak terasa akrab semenjak Arga menjalin hubungan dengan Jejes, dan ditambah lagi mereka yang satu kelas, jadilah bisa saling kenal satu sama lain.
“Pesen sana, Vin,” suruh Fadhil pada Gavin yang duduk di hadapannya.
Berhubung suasana hati Gavin tampak baik, terlihat sekali dengan dia yang kini tengah tersenyum-senyum sendiri menatap handphone yang ada di genggamannya. Entah karena apa, mereka tidak tau dan nampak tak peduli dengan tingkah pemuda itu yang memang setiap harinya, bahkan setiap saat selalu terlihat aneh, bukan?
Gavin mendongak, lantas mengangguk dengan tersenyum lebar yang memperlihatkan deretan gigi putihnya. “Pesen apa?” tanya pemuda itu.
“Nasi goreng semua aja, samain. Biar lo nggak ribet,” jawab Fadhil.
“Bang Adil pergertian banget sih,” ujar Gavin mencolek dagu Fadhil, tapi sang empu segera menepis kasar tangannya. Pemuda itu bergidik ngeri menatapnya yang sekarang jadi mengedipkan sebelah mata jahil.
“Gue masih suka lobang ya, Vin,” ungkap Fadhil yang terdengar ambigu di telinga mereka.
Arga yang berada di sebelah Fadhil pun refleks menabok bibir pemuda itu. “Kebanyakkan makan tai nih, mulut lo.”
Gavin yang mendengar ucapan Fadhil dan Arga itu pun lantas tertawa terbahak-bahak. Entah apanya yang lucu, bahkan yang lain saja tidak ada yang tertawa.
Mereka menatap Gavin aneh yang masih saja terus tertawa, bahkan penghuni kantin yang lainpun menatap ke arah meja mereka karena merasa sedikit terganggu mendengar suara tawa Gavin itu.
“Udah, elah, malu.” Althaf kini angkat bicara, dia menabok punggung Gavin sedikit kuat yang membuat pemuda itu jadi diam seketika, meringis merasakan nyeri di punggungnya.
“Sakit.” Gavin merengek.
“Ya, mangkanya, diem,” cibir Althaf yang membuat Gavin akhirnya diam menurut dengan bibir yang dimanyunkan.
“Buruan sono, pesen.”
Menurut, Gavin berdiri.
“Gue minumnya es jeruk,” kata Arga.
“Samain.”
Gavin jadi menatap Fadhil saat pemuda itu belum juga membuka suara mengajukan pesanannya. “Lo minumnya apa? Air putih aja, ye?”
Fadhil menggeleng. “Nggak, gue es jeruk juga.”
Gavin mencatat pesanan mereka di handphone-nya untuk mempermudah dia mengingat apa saja yang sahabatnya itu pesan.
“Duit mana duit.”
Arjuna mengeluarkan uang selembar berwarna merah dari saku bajunya yang membuat Gavin lagsung menerima uang yang diberikan pemuda itu dengan berbinar bahagia.
“Nggak mau tau pokoknya, kembaliannya buat gue,” titahnya mutlak dan segera berlalu pergi tanpa menghiraukan balasan sahabatnya.
* * *
“Pelan-pelan aja, Cha. Kalo lo jatuh, bahaya. Panas itu,” kata Fahmi pada Echa yang sedang membawa nampan berisikan satu mangkok bakso dan satu gelas es teh yang baru selesai dipesannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sequoia ✔
Teen Fictionೃ⁀➷ ••• Menceritakan kehidupan seorang gadis yang bernama Alvia Decha Arzukna. Gadis yang biasanya dipanggil Echa oleh orang terdekatnya. Dia gadis cantik kelebihan imut, manja, terkadang polos sedikit bego, berpipi tembam menggemaskan, tapi juga b...