"Argh- shit!" Zee mengumpat, setengah mengerang. Dia mencengkeram pinggangnya -menggigit bibirnya saat tulangnya terasa sedikit bergeser. Cewek itu mendongak, menatap Altezza marah. "Punya masalah apa lo sama gue?"
Altezza tidak mengatakan apapun. Netranya terfokus pada salah satu cowok yang melangkahkan kakinya mendekati Zee. Cowok berandalan yang memiliki luka memanjang di sekitar alisnya, serta luka sobek di sudut bibirnya -dia Zero Earth Tyler. Cowok itu mengulurkan tangan.
Zee menatapnya sejenak sebelum akhirnya meraih tangan Zero. Otot- otot di lengan bawahnya tertarik dan menonjol. Tanpa melihatnya, Zee melepaskan tangan Zero cepat-cepat dan berdiri di sisi cowok itu. "Thank."
Zero tidak mengatakan apapun. Tangannya kembali terulur, menyentuh beberapa helai rambut Zee yang menutupi mata. Rasanya masih sama seperti terakhir kali Zero menyentuhnya.
Semua siswi yang melihat hal itu spontan saling berbisik. Karena selama berteman dan mengenal Zero Earth Tyler, cowok itu dikenal sebagai cowok cuek yang tidak pernah mau berdekatan dengan satupun siswi di sekolahnya.
Zee menjilat bibirnya yang mendadak kering. Zero yang melihat hal itu menyeringai sinis.
Grace Caroline, cewek yang menjabat sebagai kapten basket team putri SMA Gatlantra menepuk pelan pundak Altezza. Altezza menoleh, sementara Grace mendekatkan wajahnya dan membisikkan sesuatu disamping telinga cowok itu. "Mau janji satu hal sama gue?" Altezza terdiam lama kemudian mengangguk pelan tanpa suara. "Berhenti bersikap kasar ke cewek lain. Gue nggak suka."
_LUKA_
Langit biru kejinggaan itu mulai beranjak gelap. Sayup-sayup terdengar suara jangkrik memecah keheningan malam. Udara terasa dingin menyegarkan. Langit gelap dihiasi bintang-bintang bertebaran menemani gagahnya raja malam yang bersinar terang menebar cahaya berkilauan.
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Grace dan sebagian anak TRIGGERBLACK yang berjumlah tujuh belas orang kompak memarkirkan motornya di sisi trotoar. Di tepi kanan jalan, terdapat lautan yang dibatasi oleh pagar pembatas.
Altezza turun dari atas motor. Tatapannya tidak pernah lepas sedetik pun dari anak laki-laki yang kala itu berada di gendongan Jazigar. Anak laki-laki yang memakai headband di dahinya dan diperkirakan berusia empat tahun itu balas menatapnya sayu. "Papah?"
Altezza tersentak saat anak laki-laki itu tiba-tiba memanggilnya Papah. Bukan hanya dia, tapi juga keempat seniornya; Jazigar, Arkan, Fadel dan Raga. Pasalnya, selama empat tahun bersama mereka, anak itu tidak pernah memanggil seorang pun dengan sebutan Papah.
"Papah udah balik dali sulga ya, om?" Lirihnya.
Jazigar tidak bisa berkata sepatah kata pun. Menggerakkan satu syaratnya pun, dia tidak sanggup. Cowok itu hanya bisa menunduk, menghembuskan napas sesaknya yang serasa mencekik. Sudah empat tahun berlalu. Tapi hingga saat ini, dia dan ketiga sahabatnya masih belum bisa mengikhlaskan kepergian Papah dari anak itu.
"Main sama om Raga, yuk?" Raga berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia mengambil alih anak itu dari gendongan Jazigar. Anak itu tersenyum, membuat lesung pipinya terlihat manis. Senyuman yang mengingatkan mereka semua pada seorang cowok hebat di masa lalu.
"Trust me. He's still here," bisik Raga. Dia menepuk pundak Jazigar sebelum akhirnya melangkah ke arah lautan di seberang jalan. Sementara Altezza menatap punggung anak itu yang perlahan menghilang tertelan jarak.