FIFTEEN

34.3K 7K 5.4K
                                    

Altezza memegangi kepalanya dengan kedua tangan, tertunduk ke meja. Dia menggigit bibirnya ketika merasakan nyeri pada kepalanya yang dililit perban. Beberapa temannya yang berkeliaran berkali-kali menanyakan keadaannya. Sayangnya, se berisik apa pun kesibukan di kelas itu sama sekali tidak mempengaruhi cowok itu. "Shh.."

"Bisa-bisanya gue santai, padahal tugas numpuk," Filosofi terkekeh sambil mengerjakan tugas Fisikanya secepat yang dia bisa. "Seandainya ada sekolah yang bangkunya diganti jadi kasur, papan tulis diganti jadi Televisi, kerjaannya cuma tidur sambil main Handphone, mungkin gue bakal semangat buat ngelanjutin pendidikan S2, S3 & seterusnya."

"Kalau sudah lulus, mau jadi apa lo?" sewot siswa yang tidak memiliki nama.

"Yang pasti bukan Serangga." Filosofi tertawa keras tanpa alasan. Sepertinya, dia tertekan.

Meteor memutar bola mata malas. Dia menyandarkan punggungnya di pundak Abigail dan menatap satu foto yang cewek itu genggam dengan tatapan menyelidik. Ternyata Abigail sedang melihat foto masa remaja mereka yang sedang berlari membelah hujan. Tepatnya empat tahun lalu saat kedua remaja itu berusia dua belas tahun.

"Singkirkan kaki lo, brengsek." Zero menendang kaki Tyaga yang menghalangi langkahnya memasuki kelas.

"Dia." Tyaga mendesis, menunjuk Purnama yang tertidur pulas di gendongan Zero. Cowok itu menipiskan bibir. "Ada sesuatu yang belum selesai diantara gue dan dia."

"Lo gay. Lo suka sahabat gue?" Zero tersenyum miring.

"Bukannya itu lo?"

"Bangsat. Apa hak lo untuk menilai gue." Ekspresi santai di wajah Zero berangsur dingin. "Lo cari mati."

Tyaga dipaksa mundur dan diseret keluar oleh bawahan Zero. Sementara Zero berusaha mengendalikan emosinya dan menurunkan Purnama dari gendongannya. Cowok itu setengah mengantuk.

"Ekhm!" Mendadak, suasana kelas yang tadinya berisik berubah hening saat mendengar suara Pak Bagus, guru pelajaran sejarah yang tiba-tiba memasuki kelas XI IPA I sambil membawa penggaris besar yang panjangnya melebihi tinggi badannya. "Altezza!" Pak Bagus memukul meja cowok itu dengan kepalan tangan, membuat Altezza yang hampir terlelap mengangkat sedikit wajahnya yang terlihat pucat. "Muka kamu kayak orang mau meninggal. Kamu sakit apa?"

Altezza mendadak bungkam. Ingin mengatakan sesuatu hal tapi tertahan di tenggorokan. "Saya.. sehat, Pak."

"Meragukan." Pak Bagus berjalan ke arah meja guru dan mulai mengabsen satu-persatu murid di kelas itu. Mulai dari Altezza, Filosofi, Fana, Meteor, Abigail, Purnama, Earth, Grace -blablabla dan yang terakhir, "Zee?" Mata Pak Bagus menjelajahi setiap sudut kelas, mencari keberadaan Zee.

"Hadir tidak, Pak," jawab Kevlar sebagai ketua kelas.

Tapi di detik yang sama, pintu kelas XI IPA I kembali terbuka dan menampilkan Zee yang membungkuk kelelahan. Seragam sekolahnya basah akibat keringat. Rambutnya berantakan dan penampilannya terlihat begitu kacau. "Zee, kenapa terlambat?"

"Cuma beberapa menit-"

"Cepat berdiri di depan kelas." Pak Bagus memotong. Zee berjalan malas. "Kamu tau, saya adalah tipe pria yang membenci keterlambatan. Apapun alasannya, terlambat tetap terlambat. Dan sesuai aturan, semua murid yang melakukan pelanggaran akan mendapatkan hukuman. Paham?"

Zee memutar mata. Sesekali menormalkan pernapasannya yang terasa sesak akibat kelelahan. Dia menyibak rambutnya yang menutupi dahi dan tatapannya kembali terkunci pada cowok yang menyebabkan keterlambatannya pagi ini, Altezza.

Zee mendesis ketika lututnya tiba-tiba dipukul oleh Pak Bagus. Tidak sakit. Hanya menimbulkan rasa perih yang bertahan selama beberapa detik. Altezza dan teman-teman sekelasnya hanya diam saat melihat Zee dipukul seperti itu. Karena kejadian serupa juga dulu pernah dialami oleh hampir semua murid kelas XI IPA I.

"Sini tangan kamu." Ragu, Zee menyodorkan kedua tangannya ke arah Pak Bagus. "Saya di bawah." Zee menunduk -melihat posisi tangannya lebih tinggi daripada pria itu.

"Maaf, Pak." Dia menurunkan tangannya dan mendesis ketika Pak Bagus kembali memukulnya. Kali ini, rasa perihnya bertambah dua kali lipat, tapi Zee tetap bergeming seperti awal. Setelah puas memukul tangannya hingga memerah, Pak Bagus kemudian mempersilahkan Zee untuk duduk. Cewek itu menahan bangkunya saat Altezza bersiap akan menendangnya.

Brot, furz!

Hening beberapa detik sebelum akhirnya teriakan Altezza membuat Zee ingin membekukan waktu dan kabur dari kelas itu. "Oh, shit. Zee kentut!"

626 word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang