NINE

40.3K 8.5K 2.8K
                                    

"Ma-u peluk."

Zee mendesis marah. Sebab kesal, dia menendang kepala Altezza cukup keras, membuat pelukan cowok itu seketika terlepas. Altezza mengerang kala merasakan nyeri pada kepalanya yang dibebat perban. Luka sebelumnya belum sepenuhnya pulih, menyebabkan kepala cowok itu sakit bukan main.

"Dengar." Zee mundur selangkah, dan menunjuk luka di dahinya yang diplester. "Berkat lo, gue nggak bisa tidur semalaman karena lo membuat luka gores di dahi gue bertambah parah. Gue adalah tipe cewek yang membenci luka. Apalagi bekasnya. Dan karena lo, gue berakhir memiliki scar."

Altezza mendesis. Cowok itu memejamkan mata rapat kala merasakan seluruh tubuhnya menggigil. "Di-ngin.." dia kembali merangkak mendekati Zee.

"Fuck." Zee berlutut dengan satu kaki di hadapan cowok itu. Tanpa sadar, tangannya menyentuh kening Altezza yang setengah di perban. Detik selanjutnya, dia dibuat terkejut. "Ya Tuhan, lo demam?" Zee menggigit lidahnya sendiri. Tanpa memikirkan apapun, dia menyelipkan tangannya ke punggung Altezza, menariknya duduk dan menyandarkan tubuh lemah cowok itu di sisi pintu.

Zee menggigit jarinya kalut. "Gue harus ngapain?" dia melihat ke kanan-kiri. Sepi. Sama sekali tidak ada bayangan satupun manusia yang berlalu lalang di sekitar koridor apartemen. "Ah, Pak Samudera."

Ketika Zee berdiri dan hendak melangkah pergi, detik yang sama, dia merasakan tangannya digenggam oleh cowok di bawahnya. Zee menahan napas kala Altezza kembali menautkan jari-jari tangan keduanya. Kedua remaja itu saling menggenggam.

"Jangan pergi. Gue nggak mau sendiri," bisiknya.

Tanpa di duga, Altezza menarik jatuh cewek itu ke atas pangkuannya. Zee menahan napas. Sementara Altezza membuka mata, membuat mata coklatnya bertabrakan dengan netra abu milik Zee. Hingga beberapa saat, mereka hanya saling bertatapan tanpa sepatah kata yang keluar dari mulut keduanya. Tatapan mata mereka begitu dalam dan lekat, tersirat luka.

Sepi. Hening. Sunyi. Yang terdengar hanyalah suara hujan dan petir yang menghiasi langit.

"Peluk gue," bisik Altezza dengan mata yang perlahan terpejam. Sebelum cowok itu benar-benar kehilangan kesadaran, dia merasakan sebuah tangan hangat memeluknya dengan sangat erat. Rasanya seperti kembali ke tempat di mana biasanya kita tinggal. Hangatnya membuat Altezza ingin membekukan waktu detik itu juga. Menghela napas, dia membenamkan wajahnya di perpotongan leher Zee, mencari kenyamanan. Tanpa sadar, bibirnya menyentuh kulit pundak Zee yang terbuka. "Kenyal."

_LUKA_

Pelan-pelan, mata itu terbuka -menatap langit-langit kamar setengah sadar. Dia mengerang dan menyentuh keningnya yang terasa pusing. Basah. Altezza menyingkirkan handuk di atas dahinya dan melemparnya jatuh ke bawah lantai.

"Eungh.."

Altezza mengerutkan kening kala dengan samar mendengar suara cewek dari bawah kasur. Ragu, dia merangkak ke tepi kasur dan terkejut saat melihat Zee terlentang tanpa bantal dan selimut. Hanya beralaskan Sajadah dan tas ransel sebagai bantalan. "Lo ngapain di sini?"

"Lo yang ngapain. Ini kamar gue." Zee mendesis kesal. Benar-benar cowok nggak tau diri.

Mendengar hal itu, Altezza segera mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar. Terdapat banyak lukisan abstrak dan juga lukisan darah di dinding kamar. Ini bukan kamarnya. Menahan amarah, cowok itu beralih menatap Zee ganas. "Lo nyulik gue?"

"Lo Alter ego?"

"Lo mengalihkan pembicaraan."

"Gue butuh jawaban."

Meskipun kelihatannya mulut Altezza akan memberitahu Zee segalanya, matanya yang dingin dan keras sepertinya tidak ingin mengatakan apa-apa. Tanpa berkata sepatah kata pun, dia menyingkirkan selimut dan turun dari atas kasur. Cowok itu melepaskan kaosnya yang berkeringat.

AC di kamar Zee tidak menyala karena alasan cowok itu demam semalaman.

Altezza berdiri dan melangkah tertatih memasuki toilet Zee. Dia merendam tangannya di wastafel . Darah dari buku-buku jarinya membuat air di wastafel berubah menjadi merah muda. Ujung bibirnya sedikit sobek. Dia menjilat darahnya yang perlahan mengering. Ekspresinya tenang saat dia memeriksa luka sobeknya dan menarik sedikit kulit bibirnya yang terkelupas.

"Shh."

Zee berdiri dan memakai kaos oversize, menutupi hotpants. Dia menyalakan AC dan berjalan memasuki toilet. "Lo punya banyak musuh, Altez?" Zee mematikan keran dan mengeringkan tangan cowok itu dengan handuk. "Bibir lo-"

"Bibir gue bukan urusan lo."

Sebelum Altezza menarik tangannya, Zee mengulurkan tangan guna menyentuh sudut bibirnya yang terluka. Ada nyeri menjalar di sudut bibir Altezza ketika Zee menekan lukanya. "Zee," panggil Altezza dengan suara rendah. Cowok itu menyentuh pipi Zee. Tangannya dingin dan kuat. Altezza menaikkan dagu Zee ke atas sehingga dia menatap tepat ke arah wajahnya. Mata Altezza berkilat gelap. Sepasang mata itu terlihat buas. "Jaga batasan lo."

TBC.
698 word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang