"Apa mau lo?" Zee melangkah menjauh ketika Erga mengarahkan pisau itu ke arah mata kirinya. "Apa yang lo mau dari gue?" Erga tidak menjawab. Tapi tatapan mata cowok itu seakan mampu menjawab pertanyaannya tanpa kata. Zee menghindar saat ujung mata pisau itu nyaris menembus kulitnya.
"Kenapa?" Erga tertawa pelan. "Takut, hm?" Dia menarik dagu Zee hingga kedua sisi pipi cewek itu terjepit diantara jarinya. "Lo takut, kan?" Zee menelan ludah yang tercekat di tenggorokan ketika merasakan ujung mata pisau itu tepat menyentuh perutnya. Jika Erga sedikit menekan pisaunya ke dalam, sudah dapat dipastikan jika pisau itu akan tertanam di dalam dagingnya.
"Arrggh!" Erga berteriak kesakitan dan refleks menjatuhkan pisaunya ketika Zee dengan tiba-tiba menendang kemaluannya.
Cowok itu mendesis kala merasakan nyeri pada bagian intinya. Memanfaatkan keadaan, Zee segera berlari menjauhi Erga yang masih menikmati rasa sakit pada area vitalnya. Sesekali dia menoleh ke arah belakang untuk memastikan jika Erga tidak mengejarnya.
"Jangan kabur lo!"
Zee mempercepat larinya, sementara Erga mengejarnya dengan langkah terseok -persis sama seperti langkah bocah yang itunya baru selesai dipotong.
Zee memaki dalam diam. Seandainyaa malam itu dia tidak bertemu dan mencari masalah dengan Erga, mungkin saat ini dia tidak perlu berurusan dengan cowok berandalan tersebut Zee menghentikan langkahnya saat merasakan nyeri pada kepalanya. Bukan hanya itu, perih pada luka gores di keningnya seakan memperparah rasa sakitnya. "Shh.."
"Woy!"
Suara Erga terdengar semakin jelas, membuat Zee segera menyembunyikan diri di balik tong sampah. Hanya begitu saja tubuhnya dibuat lemas, duduk beringsut di tempat sempit dan gelap. Matanya berair dan napasnya memburu bersama dadanya yang mendadak sesak.
"Keluar lo!"
Zee menggigit bibirnya dan mengeluarkan ponsel dari dalam saku ranselnya. Dengan tangan bergetar, dia mulai mengetik dua belas angka nomor Altezza yang sempat dia hapal diam-diam ketika cowok itu menginap di kamarnya.
Di sisi lain, Altezza memejamkan mata rapat saat lagi-lagi mendapati Grace tidur terlentang hanya menggunakan pakaian dalam di sofa apartemennya. Padahal Grace sudah bukan anak kecil lagi. Jika keduanya masih berumur empat tahun, melihat Grace telanjang pun, mungkin hal itu tidak masalah sama sekali. Grace mengerjabkan mata setengah sadar kala dengan samar mendengar suara pintu Apartemen terbuka dari luar. Cewek itu segera menutupi area pribadinya dengan bantal ketika tatapannya tanpa sengaja terjatuh pada Altezza. "Ezz?"
Altezza tidak mengatakan apapun. Dia berjalan dengan mata terpejam -memasuki kamar. Sementara Grace dengan cepat memakai kaosnya dan segera menyusul Altezza masuk ke dalam kamar. "Ezza, gue, astaga-" Grace spontan menutup matanya ketika cowok itu nyaris telanjang di depannya.
"Oh, shit!" Altezza dengan cepat meraih handuk yang teronggok di lantai. "Keluar!"
"Ezza, gue-"
"Sekarang!"
"Tapi-" Grace menghentikan ucapannya saat Altezza menatapnya tajam. "Ok, Fine!" Dia berbalik pergi dan membanting pintu kamar cowok itu.
Ketika Altezza baru akan mengatakan sesuatu, detik yang sama, ponsel cowok itu bergetar. Dia menyipitkan mata dan membaca deretan angka yang tertera di layar, tulisan dengan nomor tidak dikenal tertera di sana, membuat Altezza segera mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. "Ck. Ganggu."
480 word.