Altezza berdiri dengan gemetar, kepalanya tertunduk dan sebelah tangan menekan di sisi tubuhnya. Seperti darah ketika Luka menatapnya. Cowok itu mendesis serak, "Jangan."
Larangan adalah sebuah perintah. Tanpa berkata sepatah kata pun, Zee melompat dan langsung memanjat dinding balkon menuju kamar cowok itu. Untuk sesaat, Altezza lupa caranya berkedip dan bernapas saat beberapa kali melihat Zee nyaris jatuh menghantam tanah. Dia benar-benar nekat dan bernyali besar. Persis seperti Altezza. Zee menahan napas usai salah satu penyangga di bawah kakinya terlepas. Cengkeramannya pada besi balkon mengencang. Jika jatuh dari lantai dua, dia kemungkinan hanya akan mengalami patah tulang.
Zee mendongak, menatap Altezza yang juga sedang menatapnya. Wajahnya berkerut kesakitan, matanya bengkak dan merah membara. Darah menetes dari bibirnya yang terluka.
"Apa?"
"Mau jatuh."
Altezza membungkuk, cepat, napas pendek keluar dari mulutnya. Dia menggenggam salah satu tangan Zee yang berada pada besi di bawahnya. Dan satu tangan lainnya berada pada railing balkon. Kedua remaja itu saling menggenggam. Dan Zee menarik diri lebih dekat, memanjat sekuat yang dia bisa hingga dia berhasil berdiri berhadapan dengan Altezza.
"Lo berdarah." Zee mendekat dan menjatuhkan tasnya ke lantai. Tanpa diduga, dia mengangkat kaos Altezza sedikit ke atas, memperlihatkan lilitan kaos yang menutupi lukanya. Zee menekannya dengan santai.
Altezza mendesis, mencengkeram pundak Zee. Cewek itu mengabaikannya dan kembali menekan lukanya. Kali ini cukup kuat, membuat kaosnya bergesekan setiap beberapa detik. Altezza tersentak. Dan luka di bawahnya terasa semakin sakit. "Shh."
"Kita butuh rumah sakit." Zee menarik tangan Altezza. Tapi cowok itu menepisnya dengan segera.
"Gue nggak berdarah sampai mati." Altezza menggeleng, tersenyum pahit. Dia benci rumah sakit. "Dan kalaupun mati, siapa yang peduli?"
"Jangan gila. Lo benar-benar nggak waras, tau nggak?" Altezza kehilangan akal. "Sekarang lo memang nggak berdarah sampai mati. Tapi beberapa detik lagi? Nggak ada yang menjamin. Dan lo tau, hidup itu nggak ada yang tau kapan akan berakhir." Altezza berniat akan mengatakan sesuatu, tapi bibirnya langsung di bungkam rapat oleh cewek itu. "Apa? Lo mau bilang kalau 'hidup lo akan berakhir sebentar lagi? Karena beberapa tahun lagi, lo udah nggak ada lagi di dunia ini? Dan lo benci sama raga lo yang sebentar lagi akan mati,'?"
Altezza membisu. Lidahnya terasa kelu.
"Awas aja. Ngomong sekali lagi, gue hajar lo sampai mati." Zee mengancam. Dia melihat tangannya yang dipenuhi bercak darah merah. Pekat. Altezza terluka parah. "Ayo ke rumah sakit."
"Gue nggak mau."
"Altezza."
"Tolong," cowok itu menggeleng lemah. "Jangan paksa gue."
Lautan menggigit bibirnya dan berlari keluar kamar. Tidak lama setelahnya, anak itu kembali lagi dengan P3K di tangannya. Lautan berkata lirih, "Altez mati. Tolong obati."
Zee mengambil alih P3K tersebut. Dia tidak memiliki pengetahuan medis. Dilihat dari kaos Altezza yang berlumuran darah, luka di bawahnya bukanlah luka sederhana yang bisa diobati dengan hanya tisu basah dan perban. Lebih dari itu, "luka lo perlu beberapa jahitan medis."
Altezza menggeleng. Dia berjalan pincang. Dan Zee menahan lengannya, takut dia akan jatuh. Tapi dia tidak jatuh. Altezza menggertakkan gigi dan terus berjalan hingga sampai ke tepi kasur. Cowok itu menyuruh Lautan keluar dan yang tersisa di kamar ini hanya dia dan cewek di sebelahnya.
"Kunci," bisiknya. Dia menunjuk kuncinya. "Tolong kunci pintunya."
"Sebentar." Zee melepaskan sepatunya yang basah dan segera menutup pintu —menguncinya sebelum bergegas ke sisi Altezza. Cowok itu ambruk. Zee panik sekaligus bingung. Dia menyentuh punggung dan dada Altezza, memaksanya untuk kembali duduk.