"Woy, bitch!" Teriakan Altezza membuat seluruh murid yang sedang berolahraga menghentikan aktivitasnya sejenak dan mengalihkan atensinya ke arah cowok itu. Altezza terlihat berlari ke arah Zee yang hendak melompat memasukkan bola ke dalam ring. Tapi sebelum cewek itu berhasil melakukan tembakan jarak jauh, detik yang sama, Altezza merebut bolanya dan melempar bola itu ke kepala Zee, membuat tubuh Zee sedikit terdorong ke belakang.
Seluruh siswi yang melihat hal itu spontan membekap mulutnya, menampilkan ekspresi -are you kidding me, babe? Sementara Zero memutar mata, terlihat malas dan seolah tidak peduli.
Abigail berniat berlari mendekati Zee, tapi tertahan oleh Filosofi.
"Bangsat. Maksud lo apa," nada suara Zee terdengar mengancam.
Altezza mencengkeram pergelangan tangan Zee saat cewek itu berniat akan menghajarnya. Dia tersenyum tipis dan tanpa aba-aba langsung memutar tangan cewek itu ke samping, membuat Zee terpaksa harus membalikkan tubuh agar tangannya tidak mengalami cidera serius. Zee meringis tertahan saat Altezza memperkuat cekalannya. Sedetik kemudian, dia merasakan tangannya di angkat dan jatuh di atas perban luka yang masih basah. "Because of you."
Zee menggigit bibirnya saat ingatannya kembali terlempar pada kejadian empat hari lalu, malam dimana Altezza menolongnya dari serangan Erga. Bagaimana cowok itu memeluknya, seolah takut jika dirinya terluka parah. Dan seandainya saat itu Zee tidak bertemu dan mencari masalah dengan Erga, dia tidak akan terlibat masalah dengan Altezza.
"So?" Zee melepaskan diri dari cekalan cowok itu. "Apa mau lo? Apa yang lo mau dari gue?"
Altezza terdiam memikirkan jawaban. Dia melihat ke arah bola basket yang teronggok di lantai dan menendangnya ke arah Zee. "Latihan basket bareng lo."
"Hah?"
"Kenapa?" Altezza mengangkat satu alisnya. "Nggak mau?"
"Ya nggak lah."
"Yaudah."
"Yaudah, sana pergi. Ngapain masih disini?"
"Lo ngusir gue?"
"Iya."
"Ok." Sesaat Zee dapat bernapas lega karena hari ini dia tidak harus berurusan dengan Altezza. Tapi detik yang sama, perkataan Altezza selanjutnya berhasil membuat sekujur tubuh Zee mendadak Tremor.
"Tapi setelah gue kalah tanding basket sama lo," saat Altezza memutar mata, sesuatu menarik perhatiannya di ujung lorong.
Grace berdiri. Dia menatap matanya dan memiringkan kepalanya ke belakang, mengisyaratkan agar cowok itu datang. Altezza berjalan santai melewati Zee dan menghampiri Grace - berhenti tepat di depannya, bersandar di dinding yang sama -berhadapan.
"Apa?"
Grace memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Dia mengangkat wajahnya sedikit, memperhatikan perban yang melilit luka belakang kepala cowok itu.
"Lo mungkin bisa mengalami cedera kepala dan gue nggak mengizinkan lo-"
Kata-kata Grace terpotong saat dia melihat ekspresinya. Mata Altezza menatapnya memohon, seakan mengatakan -satu kali saja. Ok? dan kelihatannya seperti Altezza benar-benar akan bersikap egois jika Grace tidak mengizinkan cowok itu.
"Grace." Altezza menggenggam siku lengan Grace. Jari-jarinya dengan kuat menggenggam kulit lembut lengan atasnya dan menarik cewek itu mendekat. Bibir Altezza perlahan bergerak mendekati pipi Grace. Kemudian dengan lengannya merangkul erat bahu cewek itu, Altezza membenamkan wajahnya di leher Grace. "Please?"
Grace bergeming beberapa detik, lalu ikut melingkarkan lengannya merangkul Altezza sambil menghela napas. "Ok."
Altezza mengangkat kepala dan menyisir rambut Grace dengan jari. Cowok bermarga Gillova itu menyelipkan rambut sahabatnya di belakang telinga. Mereka saling menatap. Jemarinya bergerak perlahan di antara helai-helai rambut Grace.
"Ezz."
Altezza menoleh saat mendengar suara derap kaki yang melangkah ke arahnya. Cewek dengan seragam basket dan ikat kepala yang menutupi sebagian dahi itu berhenti di sebelahnya. Zee menatapnya dalam diam. "Gue nggak mau."
Altezza terkekeh dan menegakkan tubuh. "Luka-"
"Nama gue Zee," koreksinya.
Altezza tidak peduli. Grace menyibak rambutnya yang menutupi dahi dan berbalik pergi menuju ruang OSIS.Altezza menatap punggung Grace yang perlahan menghilang tertelan jarak.
"Gue nggak mau. Dan gue nggak punya banyak waktu." Zee mengoper bolanya ke arah Abigail. "Tapi lo bisa tanding basket sama salah satu temen gue. Contohnya, Abigail. Dia lebih jago basket dibanding gue."
"Nggak mau. Maunya sama lo."
"Lo benar-benar.." Zee kehabisan kata-kata. "Banci," desisnya tanpa sadar membuat tatapan Altezza berubah tajam. "Kenapa? Marah karena gue panggil banci?"
Altezza tidak menjawab. Tapi tatapan matanya sudah sangat jelas mengatakan jika dia benar-benar marah. "Bitch," desisnya. Altezza mencengkeram kuat pergelangan tangan Zee dan menarik cewek itu ke tengah lapangan. "Gue mau minta pertanggung jawaban lo."
"Gue nggak ngerti maksud lo apa." Zee berusaha melepaskan diri dari cekalan Altezza.
"Nggak usah pura-pura bego."
"Apaansih. Gue bener-bener nggak ngerti!" Zee menyentak kasar tangan Altezza hingga cekalan ditangannya terlepas. Altezza menunjuk ke arah perban lukanya. "Masih nggak ngerti?" Kening Zee mengkerut. Terlihat tengah berpikir keras. "Pertanggung jawaban atas luka lo?" Zee menjawab ragu.
Altezza mengangguk.
"Ok. Berapa?" Altezza tidak mengerti. "Berapa banyak uang yang lo butuh untuk biaya pengobatan-"
Ucapan Zee terpotong saat Altezza dengan tiba-tiba membekap mulutnya dan mensejajarkan posisinya untuk menatap mata cewek di depannya. "Gue nggak butuh duit lo," bisiknya tepat di depan wajah Zee. Cewek itu terkesiap dengan napas tersengal ketika merasakan tangan Altezza perlahan bergerak masuk ke dalam jersey basketnya, menyentuh perutnya. Tangan Altezza begitu panjang sampai ujung jarinya bisa menyentuh satu sisi rusuk Zee dan menekan pusarnya. "Tapi lo bisa bayar pakai tubuh lo."
823 word.