NINETY EIGHT

5.6K 1.4K 122
                                    

"Kondisi Altezza memburuk dari sebelumnya, tapi belum terlalu berbahaya."

"Belum? Apa artinya bisa lebih berbahaya lagi?" Para anggota Triggerblack mendesis. Mereka menggigit bibirnya, khawatir. Dokter Brian menatap sembilan remaja di depannya, tanpa emosi. Satu tangannya terulur, mengusap punggung tangan Altezza yang sedingin es. Cowok itu menutup matanya dengan satu tangan, berusaha menyembunyikan kesedihannya.

"Altezza demam." Dokter Brian mengalihkan pembicaraan. Dia beralih menyentuh dahi Altezza. Panas. "Sebaiknya kalian mengantarkannya pulang dan beristirahat." Dokter Brian menyeret paksa lengan Altezza keluar dari ruangannya. Cowok itu tidak memberontak. Altezza hanya diam ketika Dokter Brian menyerahkan raganya ke Zero yang sejak tadi berdiri diam sambil memainkan ponsel genggam. "Kamu harus berhati-hati karena cuaca sudah mulai dingin. Istirahatlah yang cukup."

"Hm." Altezza membalikkan badan Zero membelakanginya. Dia menaiki punggung Zero tanpa aba-aba, membuat cowok itu spontan menjatuhkan handphonenya. Zero melotot ganas. Dia menahan kedua tungkai kaki sahabatnya, dan mencengkeram lututnya, geram. Altezza mengangkat satu alisnya. "Lo marah, Ero?"

"Nggak." Singkat, jelas, padat. Zero berjalan dengan langkah gamang, wajahnya mengkerut marah. Dia menggendong tubuh sahabatnya memasuki lift, kemudian melorotkan badan Altezza hingga terjatuh. "Bangun, Ez."

"Gue demam." Altezza cemberut.

"Sial." Zero membungkuk, menyentuh punggung Altezza dengan posisi setengah merangkul. Otot-otot di bawah lengannnya tertarik dan menonjol. Zero menggendong Altezza seperti Koala di depan dada. Lift terbuka. Cowok bermarga Tyler itu melangkah keluar lift, menyeret langkah kaki menuju lobi. "Apa artinya bisa lebih bahaya lagi?"

"Gue nggak tau." Altezza mengerang. Dia memilih turun dari gendongan Zero ketika semua orang menjadikan kedua remaja itu pusat perhatian. "Gue haus." Zero merebut air mineral kemasan yang dibawa oleh salah satu anak kecil yang berlalu lalang diluar rumah sakit. Dia menajamkan tatapan ketika anak itu berniat akan berteriak. Zero mencengkeram leher Altezza dan meminumkannya seperti seorang balita. Cowok itu menghabiskan air mineralnya dalam sekali tegukan.

"Kem-balikan air ku," bisiknya. Anak itu memeluk botol air mineralnya yang kosong. "Kembalikan." Zero dan Altezza memutar mata. Keduanya berjalan santai melewati anak itu. Hidungnya memerah. Matanya berair. Lendir menjijikkan keluar dari hidungnya. Mungkin, itu adalah salah satu alasan kenapa kedua cowok itu membenci anak-anak. "Mama!" Anak itu berteriak parau, memanggil mamanya.

"Berisik banget." Altezza dan Zero berusaha menulikan pendengarannya. Kedua remaja itu mempercepat langkahnya dan berhenti di bawah lampu lalu lintas, menunggu taksi. Altezza memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Zero memiringkan kepala, menatap sahabatnya yang menatap ke depan dengan pandangan kosong. "Mau mati?"

Altezza menggeleng. "Gue pusing."

Zero menyentuh dahi Altezza dan mengusapnya, perhatian. Dia menghapus keringatnya yang menetes ke mata. "Gue takut, lo hilang."

Altezza diam, namun matanya menjelaskan. "Gue nggak akan hilang kecuali waktu gue di dunia ini benar-benar selesai, kan?"

"Ya." Zero mengangguk, tersenyum pahit. Cowok itu menajamkan pendengarannya saat dengan samar mendengar suara keributan dari arah berlawanan. Terlihat empat orang cowok yang sedang menggertak satu cewek di atas trotoar, di seberang jalan. Altezza menajamkan tatapannya saat menyadari jika salah satu diantara mereka adalah Farel, sahabat Gerrald. Dan cewek itu, "Luka."

Zero meluruskan pandangan. Dia tidak bereaksi. Sementara Altezza masih setia memperhatikan adegan di depannya. Adegan dimana Farel menghajar cewek itu hingga terjatuh menghantam trotoar. Dia tanpa sadar menyunggingkan senyum tipis saat melihat Luka balas memukul Farel. "Dejavu, eh?"

"Gue nggak berhak untuk mengatakan ini karena gue yang memulainya. Tapi-" Luka menarik napas dalam-dalam. "Bisa lo berhenti?" dia melakukan salah satu teknik ilmu bela diri, menjatuhkan lawannya dengan gerakan asing yang artistik. Farel tertawa. Dia terjatuh sambil berdengap, tangan menekan luka. "Gerrald belum puas sebelum lo benar-benar patah."

Luka menghela napas lelah.

"Lo dan Altezza akan terus berkelahi. Kedepannya juga akan terus mati."

"Apa?"

"Gue salah bicara, ya?" Farel terkekeh. "Atau mungkin, otak lo terlalu dangkal untuk memahami kata-kata gue?" Luka mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya, geram. Farel berdiri. Dia mendekat, menipiskan jarak diantara mereka. Napas hangat Farel menerpa wajahnya yang berkeringat. "Kedepannya juga akan terus mati," desisnya berbahaya.

Altezza dan Zero yang menyadari situasi pun bergerak cepat, berlari melewati mobil-mobil yang spontan berhenti, menghindari tabrakan. Kedua remaja itu kompak mencekik leher Farel. Cowok itu terbatuk. Altezza menyembunyikan Luka di belakang punggungnya, kemudian mencengkeram salah satu tangan Farel yang menggenggam pisau lipat. "Mau apa lo barusan?"

Farel terbatuk lagi. Dia menjatuhkan pisaunya. "Membunuh cewek lo. Apalagi?"

"Tch." Altezza tersenyum mengejek. Dia menginjak pisaunya. "Dengan ini?"

Farel menepis tangannya dengan satu hentakan dan menyentuh lehernya yang memerah. Dia menatap Altezza dengan permusuhan yang jelas. "Lo belum puas kami buat terluka sampai berdarah-darah?"

"Terluka?" Altezza menyentuh perban luka di kepalanya yang masih basah. "Ini maksud lo?" dia tersenyum sinis. Altezza membungkuk, meraih pisaunya dan mengarahkan mata pisau itu ke kepala belakangnya yang terluka. Altezza menggoreskan pisau itu, melepaskan perbannya. Lukanya dalam dan berantakan. Darah merembes keluar.

"Ezz?" Luka berniat mendekat, tapi Altezza menahannya dengan mengarahkan mata pisaunya ke bibirnya.

"Diam atau bibir lo gue sobek."

Luka memilih bungkam. Altezza dan Zero merasakan keganjilan di udara. Kedua remaja itu kompak memiringkan kepala, kehilangan fokus ketika salah satu cowok berlari cepat ke arah Luka. Sesuatu berkilat dari kejauhan. Tangannya menggenggam besi dan berniat akan melukai cewek itu sekali lagi. Altezza menjatuhkan pisaunya, sementara Zero merengkuh kepala Luka ke dalam pelukan. Cowok itu memejamkan mata, tapi tidak ada yang terjadi. Detik demi detik berlalu. Tetesan darah hangat mengalir jatuh membasahi leher Zero. "Shh." Zero bisa merasakan gerak bibir Altezza di telinganya saat dia berbicara dan ada rasa panas menjalari tubuhnya. "Lo ok, Ero?"

-x word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang