EIGHTY SIX

8.7K 2.2K 510
                                    

Mungkin rasanya, membunuh sosok manusia yang sangat berpengaruh buruk dalam hidup adalah balas dendam terbaik. Tapi sayangnya, tidak semua manusia memiliki nyali untuk membunuh dan menjalani hidup sebagai seorang pembunuh. Berbeda dengan Altezza yang beberapa kali pernah membunuh manusia dengan tangannya sendiri, tanpa meninggalkan jejak bukti. Tapi kemudian itu berhenti ketika seseorang menepuk pundaknya dan berbisik, "dengar, Ez. Air dingin tidak bisa membunuh kebencian. Begitu juga kematian. Membunuh hanya meninggalkan rasa puas sementara. Tapi kebencian akan terus membekas..."

"Pada dasarnya semua manusia memiliki sisi kejam dan tulus, semua tergantung bagaimana dia diperlakukan." Altezza memiringkan kepalanya. Tubuhnya tinggi, angkuh, matanya bagaikan mata elang. "Manusia normal pun bisa menjadi monster kejam jika seseorang berani menyakiti cewek yang mereka sayang."

"Tapi sayangnya, lo bukan manusia normal. Dan Luka," Eiger memberi jeda. "Dia bukan cewek yang lo sayang."

Altezza mengangkat satu alisnya. Cowok itu menatap para anggota Triggerblack tanpa emosi. Pupil kelabunya langsung menggelap. "Cabut."

"Wait." Antara mengangkat tangannya, seolah memberikan isyarat. "Rem motor kita semua, blong. Ingat?"

"Bukan masalah." Filosofi bertepuk tangan sekali. Dia memungut handphone Altezza dan mengecek lokasi terakhir Luka menggunakan Gps. Dia tersenyum miring. "Jaraknya hanya sekitar satu kilometer dari sini."

"Bukan itu masalahnya." Antara mendesis. "Rem motor kita semua blong dan-"

"Itu keren." Purnama membekap mulut Antara. "Kita semua bisa mengendarai motor ugal-ugalan, kehilangan kendali dan," jeda sejenak. "Mati."

_LUKA_

Luka menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan pelan untuk menenangkan diri. Perlahan, dia mengangkat wajahnya sedikit -menatap para anggota geng motor di depannya tanpa emosi. Mengabaikan rasa sakit di setiap sendi, dia memaksa berdiri. Kemudian terdengar suara patahan tulang dan Luka kembali terjatuh dengan posisi tengkurap. Napasnya memburu cepat. Tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya, geram. "Sialan."

Gerrald mendekat. Luka membuang muka, lalu dua tangan meraih lengannya dan memaksa cewek itu untuk berlutut. Cengkeraman mereka keras dan dan kuku mereka menusuk kulitnya hingga meninggalkan bekas.

"Dia benar-benar nggak gampang patah," kata salah satu cowok di belakang Gerrald.

Perlahan cairan hangat merembes keluar dari belakang kepalanya. Lengket, pekat dan berbau amis. Napas Luka tertinggal hitungan jari, dia tidak bisa berpikir apapun kecuali mengamati darah yang perlahan jatuh melewati leher. Cewek itu merasakan darah menetes dari dahi. Cengkeraman di kedua lengannya semakin menguat. Luka menggertakkan giginya kesakitan ketika Gerrald meninju wajahnya dengan kepalan tangan. Saat dia merasakan matanya mulai menutup, Gerrald meninju wajahnya sekali lagi. Luka terbatuk dan pandangannya mulai mengabur.

"Tahan, Ger." Salah satu dari mereka memaksa Gerrald mundur. "Cewek ini bisa mati dalam hitungan detik." Farel, salah satu anggota inti geng motor Lockstaer menepuk pundak sang senior. "Kita nggak tau apa yang bisa Altezza lakukan ketika tau pacarnya meninggal di tangan orang yang pernah dia anggap teman."

Gerrald tersenyum miring. "Altezza nggak lebih jahat dari gue. Dia membunuh Gracia, pacarnya sendiri."

"Ke-napa-" kata-kata mendekam di kerongkongannya. Luka menatap Gerrald dengan mata sembab. "Brengsek."

Sesaat kesunyian terasa begitu mencekam. Seluruh anggotanya memilih diam ketika Gerrald berlutut dan menarik dagu Luka hingga kedua sisi pipi cewek itu terjepit di antara jarinya. Dia mengunci tatapannya. "Siapa yang lo panggil brengsek?"

Luka terdiam. Tidak ada lagi suara yang terdengar di telinganya.

"Dia terluka parah." Farel kembali memaksa Gerrald mundur. Cowok itu menginstruksikan kepada dua cowok lainnya untuk melepaskan cengkeramannya. Gerrald menarik napas dalam-dalam dan mengepalkan tinju. "Cabut."

Luka jatuh tengkurap dan memuntahkan darahnya ke aspal. Dia menggertakkan giginya saat merasakan rambutnya basah akibat darah yang merembes dari luka. Cewek itu mengangkat kepalanya dengan lemah. Mesin motor mengarah ke arahnya. Kemudian ban mendecit saat Gerrald dan teman-temannya melarikan diri.

"Shh.." Luka menekan pelipisnya yang memar. Dari kerumunan di belakangnya terdengar suara deruman motor yang perlahan mendekat, disusul suara tabrakan keras dari arah berlawanan. Cewek itu merasakan keganjilan di udara. Demi Tuhan, Altezza tidak bereaksi. Cowok itu dipenuhi amarah. Kebencian. Segalanya. Tangannya gemetar. Kemarahan mengusai Altezza.

Filosofi tidak membiarkan amarah sahabatnya mendidih. Dia tidak membiarkan buku jemarinya memutih saat cowok itu mengepalkan tinju ke dirinya sendiri. "Kendalikan diri lo, Ez."

Langit membentang gelap, berselimut kabut abu yang membelah bulan. Luka tidak lagi dapat merasakan udara yang mengisi paru-parunya. Rusuknya seakan terlepas dari kerangka lalu melukai setiap organ dalamnya. Samar, dia melihat siluet seorang cowok yang melangkah dari kejauhan. Berupa bayang-bayang yang menghitam tertutupi kabut asap. Tubuhnya tinggi. Dahinya tertutupi poni. Dia memakai hodie abu. Siluet cowok itu terlihat tidak asing. Saat Luka merasakan matanya mulai menutup, terlihat Altezza yang berlari pincang ke arahnya, kemudian berlutut dan meninju pipinya berulang kali. "Jangan tidur, sialan."

TBC.
738 word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang