Altezza membuka kaos basketnya dan segera menghapus sisa darah di wajahnya sebelum Zee sempat melihatnya. Tapi percuma. Karena detik selanjutnya, pintu mobil langsung membuka dengan Zee yang duduk di sisi Altezza. Cowok itu memalingkan muka. "Gue nggak apa-apa."
"Bullshit," rahang Zee mengencang. Dia menyentuh punggung Altezza yang berkeringat.
Cowok itu menahan napas ketika tangan Zee perlahan bergerak turun menyusuri punggungnya yang dipenuhi bekas luka. Dia menunduk, memperhatikan jari-jari Zee yang melingkar di perutnya. Altezza menyipitkan mata, curiga. "Apa-" tanpa di duga, Zee langsung menarik paksa kaos basket Altezza, membuat sang kapten segera menyembunyikan diri di balik ranselnya.
Zee melirik Altezza sekilas dan menunduk, menatap kaos basket cowok itu tanpa emosi. "Hidung lo habis muntah darah, ya?" dia berniat menyentuh darahnya tapi segera ditepis oleh Altezza.
"Jaga batasan lo," desisnya berbahaya.
Zee tertawa pelan, kemudian menangkup pipi pucat cowok bermarga Gillova itu. Dia dengan hati-hati membersihkan sisa darah di sekitar hidungnya dengan punggung tangan. Altezza menatap Zee tajam, meski dia terluka. Tapi, tidak ada yang melihat dia terluka. Sementara Tuhan tau ada luka yang disembunyikan. Tuhan tau ada sakit yang berusaha diabaikan. Namun, Tuhan lebih tahu ada jiwa yang sempurna untuk sekedar rapuh seperti Altezza.
"Shh.. Luka." Altezza menggenggam tangan Zee di pipinya dan mengusapnya pelan. Cowok itu mendesis, "tangan lo kotor. Bau darah."
"Nggak apa-apa. Gue suka darah."
_LUKA_
Altezza menyeka darah di hidungnya dengan punggung tangan. Dia menatap pantulan wajahnya dari cermin wastafel di dalam toilet kamar. Pucat. Untuk sesaat cowok itu merasakan keganjilan di udara.
"Gue tau lo masih disana, Zee. Keluar," memutar mata, Altezza menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya, pukul enam sore. Langit pekat membumbung. Beranjak gelap. Cowok itu kembali menoleh ke tempat bayangan terakhirnya terlihat. Hitam. Hanya menyisakan gelap yang membutakan.
Sedetik kemudian, suara Zee terdengar. "Ezz? Lo nggak mati, 'kan?"
Altezza tertawa serak. Dia merendam tangannya di wastafel. Darah dari buku-buku jarinya membuat air di wastafel berubah menjadi merah muda. "Jangan khawatir. Gue masih bernapas." Altezza menyalakan keran air dan membasuh seluruh wajahnya dengan air mengalir. Cowok itu mengambil handuk dan membuka pintu toilet.
Zee menarik tangan Altezza dan mendudukkan cowok itu di tepi kasur. "Gue boleh tanya sesuatu?"
"Nggak."
"Lo sakit apa?"
"Ngomong sekali lagi, gue hajar lo sampai mati."
"Bercanda kali," Zee memamerkan lesung pipinya dan meraih tas ranselnya yang teronggok di lantai. Dia menjatuhkan diri, berbaring tengkurap di sisi Altezza. Cowok itu menurunkan rok sekolah Zee yang sedikit tersingkap.
"Meow!"
Kucing kecil yang malam itu nyaris mati tertikam pisau, menatap Zee marah. Zee balas menatap kucing itu tidak kalah garang. Lautan yang sejak awal bersembunyi di balik tas ransel Zee langsung berlari keluar dari persembunyiannya dan melompat ke arah kucing Altezza, berniat untuk menerkamnya.
"Meow!"
"MEOW!!" Rain memamerkan gigi taringnya yang kecil.
Lautan mencakar Rain.
Kedua kucing itu terlibat perkelahian dan menimbulkan kegaduhan yang membuat Zee berkali-kali meringis ketika Lautan dan musuh barunya tanpa sengaja menjatuhkan gitar serta robot mainan Altezza di atas meja belajarnya. Gitar dengan gambar abstrak berdarah itu menyita perhatian Zee.
"Gitar lo?"
"Cewek gue."
Zee memutar mata, malas. Lalu tatapannya beralih pada satu foto di atas meja belajar Altezza. Seorang anak laki-laki yang sedang memeluk skateboard tergambar jelas. Dia, Altezza kecil. Anak itu terlihat seperti hamster garang, sorot mata tajamnya masih sama. Di sisinya, seorang gadis kecil seusianya merangkul pundak Altezza dengan senyuman tertahan. Matanya terlihat sembab.
"Dia," Zee mengangkat satu alisnya. "Foto kecil cewek lo?"
Altezza menipiskan bibir. Belum sempat cowok itu mengatakan sesuatu, suara pecahan kaca lebih dulu terdengar membuat Zee dan Altezza segera mengalihkan atensinya ke arah sumber suara.
Lautan dan Rain terjebak diantara pecahan kaca.
Tanpa mempedulikan apapun, kedua remaja itu langsung berlari tanpa alas kaki menghampiri kucing-kucing tersebut. Zee memeluk Lautan. Sementara kucing Altezza berlari dan memeluk erat majikannya. "Meow," lirihnya ketakutan. Altezza mengusap punggung kucingnya, berusaha menenangkan.
"Nggak luka, 'kan?" Zee memeriksa tubuh Lautan dan menghela napas lega saat tidak ada satupun kaca yang melukai Kucingnya. "Jangan buat gue khawatir lagi, ok?"
Lautan mengangguk pelan tanpa suara.
Detik yang sama, Altezza dan Zee kompak mendesis. Kedua remaja itu terlalu mengkhawatirkan kucingnya hingga tidak menyadari bahwa kaki mereka sendiri tertancap pecahan tajam, membuat darah segar merembes keluar dari kulitnya yang tertancap. "Shh."
"Cuma luka kecil." Altezza berlutut di bawah kaki Zee. "Tutup mata lo."
"L-lo mau ngapain, Ezz, wait- ARRGGHH!!" Zee berteriak kesakitan ketika Altezza dengan tiba-tiba menarik pecahan kaca yang menancap di telapak kakinya. Darah merembes keluar. Cewek itu menggigit bibir bawahnya kuat-kuat saat merasakan kaca itu perlahan keluar merobek daging di telapak kakinya. Sakit. Panas. Perih. Zee mendesis, sementara Altezza melepaskan wristband-nya dan mengikatnya kuat di telapak kaki Zee yang terluka, menghentikan pendarahan.
Cowok itu tersenyum mengejek. "Cengeng banget."
Keesokan pagi,
Altezza dan Zee sama-sama melangkah tertatih melewati lorong menuju parkiran apartemen. Kedua remaja itu bersikap seperti es. Dingin. Tidak ada yang membuka suara hingga akhirnya Zee memecahkan kebekuan diantara mereka. Dia mencengkeram leher Altezza. "Hei."
Cowok itu tersentak dan menatapnya dengan mata menyipit. "Apa-" Altezza menggantungkan kalimatnya ketika menyadari Zee diam-diam mengambil kunci motornya dan mengantonginya.
"Kaki lo luka."
"Dan gue nggak lumpuh," desisnya berbahaya. Altezza segera merebut kunci motornya kembali dan berjalan ke arah motornya yang terparkir. Zee yang melihat hal itu, geram sendiri. Dalam hati, dia berdoa keji. Semoga rem motor lo nggak berfungsi. Aamiin.
879 word.