"Altezza!" Cadenza tersenyum —berlari menghampiri Altezza yang baru saja keluar dari dalam gudang Gatlantra. Sang kapten basket tersebut terlihat kelelahan dan berkeringat. Cadenza merogoh saku ranselnya, mengeluarkan tisu dan mengusap keringat yang mengalir di dahi cowok itu, perhatian.
"Haus." Altezza merebut air mineral di genggaman Cadenza dan meminunya hingga tandas.
"Itu bekas bibir gue." Cadenza menjilat bibirnya yang mendadak kering.
Altezza melirik Cadenza sekilas dan melempar botol air itu ke tempat sampah. Dia menahan napas ketika Cadenza tiba-tiba meraba dadanya yang berkeringat. "Denza, apa yang lo-" Altezza menelan sisa kalimatnya ketika Cadenza tiba-tiba mendekat dan langsung melompat menaiki dadanya. Dia yang mendapatkan serangan tiba-tiba dari Cadenza pun refleks mencengkeram kedua lututnya dengan tangannya, menahan tubuh cewek itu agar tidak terjatuh menghantam lantai.
"Kenapa lo nggak pulang ke rumah Papa?" Cadenza membenamkan wajahnya di perpotongan leher Altezza yang berkeringat. Cowok itu tidak mengatakan apapun dan mulai melangkahkan kakinya melewati koridor lantai satu. "Ezz-"
"Kenapa gue harus pulang?"
"Lo lupa?" Cadenza mengangkat wajahnya sedikit, menatap Altezza tanpa emosi. "Minggu depan, Papa lo ultah, 'kan?"
"Oh, ya?" Altezza terkekeh. Dia mempercepat langkah hingga tiba di parkiran SMA Gatlantra. Cowok itu menurunkan Cadenza dari gendongannya dan segera menaiki motornya. "Hei," Altezza mendekat dan menyentil dahi Zee, gemas. "Nungguin gue?"
"Nggak."
"Salah lagi?" Altezza tersenyum mengejek. Dia memberikan isyarat kepada Cadenza untuk turut menaiki motornya. "Mau balapan nggak?" tanyanya pada Zee.
Zee mengabaikannya dan menaiki motornya.
"Jejak," suara sedingin es itu tiba-tiba membekukan udara —menembus indra pendengaran Altezza.
Semua pasang mata kompak mengalihkan atensinya ke arah sumber suara dan mendapati sosok pria berusia tiga puluhan yang dibahunya tersampir sebuah tas. Kontras dengan usianya, wajah Pria itu terlihat sangat muda selayaknya pria dewasa usia dua puluh. Tubuh atletisnya terbalut jersey abu tanpa lengan, membuat otot-otot pada lengannya tercetak jelas. Sepertinya dia sangat menyukai olahraga.
"Oi, bro!" teriak Ergazza yang entah kapan sudah berdiri di belakang Papa Altezza. Dia menepuk pundak pria itu pelan.
Erlangga Gillova, pria berumur tiga puluh empat tahun itu menggeleng tidak habis pikir melihat kelakuan Ergazza yang menganggapnya seperti seorang teman bukannya seorang Ayah.
"Bro?" Erlangga meninju pelan dada Ergazza sebagai salah satu bentuk sapaan. Pria itu menghela napas panjang saat melihat penampilan Ergazza yang begitu berantakan.
"Kenapa? Penampilan gue keren, kan?"
"Nggak."
"Salah lagi?" Ergazza mengoreksi.
"Leher kamu kenapa?" Erlangga menyentuh lipatan memerah pada leher Ergazza. Terlihat seperti bekas cekikan atau semacamnya.
"Nggak apa-apa," alibi Ergazza sembari menatap Altezza, pelaku yang beberapa waktu lalu nyaris membuat leher cowok itu putus. Dia kemudian mengangkat ujung seragamnya, memamerkan luka tikaman pisau pada perutnya yang masih basah.
Erlangga kehilangan kata-kata.
Ergazza mengangkat lengan seragamnya ke atas, memamerkan luka memanjang yang tertutupi perban. "Luka ini gue dapatkan saat menghindari serangan benda tajam." Ergazza lalu memamerkan luka pada lengannya yang diperban. Terdapat nona darah di sekitar lukanya. "Masih pendarahan. Tapi itu bukan apa-apa."
"Sudah di obati?"
Ergazza menggeleng polos.
Erlangga kehabisan kata-kata. Tatapan pria itu lalu beralih pada Altezza yang kelihatan pura-pura sibuk memainkan ponsel di genggamannya dengan pandangan kosong. "Ayo, pulang."
Altezza mengangkat wajahnya sedikit —bibirnya menyunggingkan senyum sinis. "Kenapa baru sekarang?"
Erlangga tidak mengatakan apapun. Pria itu memberikan isyarat kepada salah seorang sopir yang bersembunyi di belakang mobil untuk segera membawa Altezza pergi. Si bungsu juga tidak memberontak ketika sang sopir itu membawanya masuk ke dalam mobil. Satu hal yang Altezza sadari. Sejauh apapun dia pergi, sekuat apapun dia berlari, takdir akan tetap memaksanya untuk kembali.
_LUKA_
Zee duduk bersandar pada salah satu batang pohon yang tumbuh di tepi taman bersama Lautan di pelukannya. Sesekali mendongak, menatap awan langit yang terlihat mendung pucat.
"Meow?" Lautan mengerang parau. Dia seakan tau perasaan hampa cewek itu.
Zee menggeleng dan mengelus kepala Lautan, perhatian. Semenjak kematian Mama dan Papanya, Zee seringkali merasa kesepian. Tapi rasa kesepian itu perlahan memudar usai kehadiran Lautan.
"Fuck."
Terdengar suara geraman dan makian tertahan.
Zee memiringkan kepala dan tercekat kala mendapati Zero yang entah kapan sudah duduk di sisinya sembari memeluk kucing kecil Altezza yang memberontak minta dilepaskan. "Bangsat. Mau mati?" Zero mencekik leher kucing itu pelan, bermaksud untuk menakutinya. Tanpa diduga, kucing itu langsung terdiam seketika.
"Dia Rain, kan?"
"Ya. Dan babunya resmi pindah ke rumah bokapnya sore tadi." Zero menunjuk ke arah mobil yang barusan melintasi mereka.
Zee memperhatikan mobil itu seksama. Samar, dia melihat siluet koper dan gitar yang pernah dia lihat di kamar Altezza. Ternyata cowok itu benar-benar pindah, ya?
"Lo sedih?"
"Nggak lah. Kenapa sedih?" Zee tertawa hambar. Dia mengeratkan pelukannya pada Lautan. Udara malam ini terasa lebih dingin dari malam biasanya. Cewek itu menahan napas kala merasakan usapan lembut pada rambutnya yang tergerai. Zero menarik kepala Zee bersandar di dadanya. Untuk beberapa detik lamanya, kedua remaja itu mempertahankan kedekatan keduanya.
"Mau tau satu hal?" Zero menunduk dan menyentuh kening Zee dengan bibirnya. "Gue nyaman saat dekat lo."
803 word.