THIRTY NINE

15.7K 4.1K 637
                                    

"Sebuah tabrakan di jalan Pamungkas terjadi. Seorang cowok berseragam SMA tewas terlindas ban mobil. Di duga, kecelakaan tersebut dipicu oleh rem motor yang tidak berfungsi."

Abigail menghentikan langkahnya. Dia menepuk pundak salah seorang Polisi yang sedang bertugas. "Serius tewas?"

"Iya. Apakah kamu merupakan teman kelas korban?" Tanya Polisi itu -formal.

Abigail terdiam. Ragu, dia melirik sekilas sepatu yang di pakai cowok itu. Dipenuhi darah. Untuk sesaat, Abigail lupa bagaimana caranya berkedip dan bernapas usai menyadari bahwa sepatu tersebut merupakan milik salah satu anggota basket SMA Gatlantra. Dia.. Abigail menggeleng. "Nggak. Nggak mungkin," cewek itu melangkah mundur. Tatapannya terlihat kosong. "Cowok itu nggak mungkin dia, kan?"

_LUKA_

Zee menopang dagunya dengan satu tangan, menatap bosan ke arah Kevlar yang sedang menggambar hati terluka di papan tulis kelas, lalu menambahkan kalimat, Altezza love Zee. Cowok itu memamerkan lesung pipinya dan kembali menggambar sepasang merpati yang terbang menuju langit.

"Lo jago menggambar, ternyata. Sejak kapan?" Tanya Zee, penasaran.

"Lupa. Kecil mungkin. Tapi tau nggak." Kevlar mengangkat bahu.

Zee mengangguk -tidak paham. Dia menunduk, menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul tujuh lebih dua puluh menit. Sepuluh menit lagi, bel masuk kelas berbunyi. Jika tidak salah perkiraan, seharusnya Altezza sudah berada di kelasnya semenjak lima belas menit yang lalu. Tapi hingga detik ini, siluetnya belum juga menampakkan diri.

"Zee." Fana menepuk pundak sahabatnya pelan.

Zee menoleh sebentar lalu kembali menatap jam tangannya -khawatir.

"Ada sesuatu hal yang menggangu pikiran lo?"

"Altezza," jawab Zee cepat. "Rem motor cowok itu nggak bener-bener blong, kan?" Dia menatap Fana, cemas. Jika Altezza benar-benar mengalami kecelakaan saat perjalanannya menuju sekolah, "salah gue. Gue yang salah."

"Gue.. nggak paham, serius." Fana meringis.

Filosofi melempar tas ranselnya ke arah bangkunya di barisan depan kemudian mendudukkan diri di bawah lantai kelas. Dia memperhatikan Kevlar yang begitu serius menggambar bayangan hati terluka. Detik selanjutnya, cowok itu mendesis kala merasakan sebuah paku payung menancap di telapak tangannya. Filosofi berusaha menarik paku payung itu sampai akhirnya, Buana yang baru datang memasuki kelas menghentikan tindakan cowok bermarga Kanaka itu.

"Wait, tahan bro. Ini paku. Bukan pita. Nariknya juga harus pakai adab." Buana menarik tangan Filosofi dan memperhatikan luka teman sekaligus musuhnya itu dengan serius. "Kok nggak berdarah?" Padahal, gue berharap dia mati kehabisan darah.

"Filosofi bunuh boleh nggak." Kevlar mendorong Buana menjauh kemudian menarik paku payung yang menancap di tangan Filosofi —hati-hati. "Parah lukanya nggak terlalu. Ada nggak darah? Keren."

Filosofi memperhatikan bekas lukanya. Benar-benar tidak ada darah. "Gue bukan vampire, kan?"

"Tangan lo harus di amputasi secepatnya," kata Buana yang membuat Filosofi langsung menghantam kepala cowok itu dengan kepalan tangan. Dia mendesis, "bego."

"Aku?" Bego menunjuk dirinya sendiri.

"Bukan. Bukan lo." Bego mengangguk dan kembali pada aktivitasnya memakai popok.

Tatapan Filosofi tanpa sengaja terjatuh pada gelang merah yang melingkari pergelangan Buana. Gelang tali dengan simbol F itu terasa familiar dan tidak asing dimatanya. "Punya gue? Ekhm." Filosofi meralat. "Punya Lo?"

Buana terdiam. Gelang ini adalah gelang yang dia pungut di bangku Filosofi beberapa waktu lalu. "Kalau gue bilang punya gue, pasti dicurigai," gumamnya.

"Buana?"

"O-oh, ini?" Buana melepaskan gelangnya. Dia mati kutu. "Gelang ini memang punya gue. Tapi punya orang lain."

Filosofi memicingkan mata -curiga.

"Oh ya. Altezza mana?" Buana berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia menyapukan pandangan, mencari keberadaan Altezza. "Nggak biasanya Ezza datang terlambat kecuali emang bener-bener dalam keadaan darurat." Perkataan Buana membuat Zee semakin overthinking. Sebuah bayangan samar yang memperlihatkan Altezza menerobos lampu merah dan berakhir menabrak mobil membuat Zee segera berdiri. Dia menggigit bibirnya -khawatir. "Please, jangan mati."

"Siapa yang mati?"

Zee tidak menjawab. Dia berjalan melewati Fana yang menatapnya curiga. Cewek itu menyandarkan punggungnya di balik pintu masuk kelas, menunggu Altezza.

"Woi. Siapa yang mati?!"

"Nggak tau!" sahut Zee sebal. Sedetik kemudian, dia tercekat saat sebuah tangan tiba-tiba menyambar lengannya, mendorong Zee sampai punggungnya menubruk dinding koridor kelas sebelas. "Shh..." Zee mendongak bertepatan dengan Altezza yang menunduk. Mata kelam cowok itu menghujamnya dingin. Altezza tersenyum misterius. Dia menajamkan netra kelabunya yang jahat, kemudian mencengkeram leher Zee dan menghantamnya dengan dahi. Cowok itu menyeringai sinis. "Mau mati?"

675 word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang