SIXTY ONE

10.6K 2.8K 543
                                    

"Gue nggak berdarah sampai mati." Papanya menggeleng -tersenyum pahit. Dia menggenggam tangan dingin Altezza dan mengusapnya pelan. Bibirnya mendesis tajam. Mata sembab itu terlihat tegar. "Maaf."

Altezza tidak mengatakan apapun. Dia berdiri dan berjalan dengan langkah tertatih melewati Papanya menuju kamar. Kepalanya seperti akan pecah. Cowok itu membanting pintu kamarnya dan melangkah mendekati meja belajarnya. Altezza meraih sebuah album foto dan membuka halaman pertama. Foto seorang remaja perempuan yang berlarian membelah hujan dengan mata sembab dan seorang anak laki-laki yang bermain skateboard tergambar jelas. Itu foto terakhirnya dengan Gracia.

Altezza memejamkan mata. Sulit melupakan seseorang yang memberikannya begitu banyak kenangan. Dan derita masa lalu anak itu terlalu jauh untuk disembuhkan.

_LUKA_

"Bye, Los."

"Bye, Kez." Filosofi tersenyum, menatap punggung Kezia yang perlahan menjauh. Cowok itu menghela napas berat dan berbalik badan memasuki kelas XI IPA 1. Lalu tatapannya tanpa sengaja terjatuh pada Fana yang tengah menyandarkan kepalanya di pundak Abigail —pergantian tempat duduk.

"Filosofi."

Cowok itu memutar matanya ke arah Pak Bagus yang sedang duduk santai di atas meja Guru. "Apa?"

"Kamu terlambat satu jam lebih tiga belas menit empat puluh delapan koma sembilan puluh sembilan detik." Filosofi menipiskan bibir. "Fana." Fana menegakkan tubuh usai Pak Bagus menyebutkan namanya. "Kamu pacarnya Filosofi, kan?" Fana terdiam lama, menatap mata Filosofi yang juga sedang menatapnya. Pak Bagus mengangkat satu alisnya, menunggu jawaban dari Filosofi maupun Fana. Tapi kedua remaja itu hanya diam, menatap satu sama lain dalam kebisuan. "Diam, berarti iya."

"Boleh saya duduk?" tanya Filosofi.

"Terdeteksi akhlak 0%." Pak Bagus menendang lutut Filosofi dengan kakinya yang mungil dan mempersilahkan cowok itu untuk duduk.

Filosofi berniat akan berpindah duduk di sisi Zero, tapi pundaknya segera ditahan oleh cowok bermarga Tyler itu. Sabarnya sudah diperluas. Egonya sudah ditekan hingga ke dasar. "Kalau itu masih Fana anggap kurang, terus gue harus bagaimana?"

"Pindah agama," jawaban Abigail membuat Filosofi kehabisan kata-kata.

"Kacau lo, Bi," semua teman sekelasnya tertawa tanpa humor.

Di sisi lain, Zee menopang dagunya dengan satu tangan, menatap bosan ke arah papan tulis kelas yang menampilkan berbagai rumus matematika yang membosankan. Satu-satunya pelajaran yang ingin dia musnahkan dari daftar jadwal pelajarannya.

Zee menuliskan kata-kata terakhir di halaman pertama, dan ketika dia membalikkan kertas itu, pintu kelas perlahan terbuka. Semua teman sekelasnya mengalihkan atensinya ke arah pintu masuk. Seseorang muncul dari balik pintu, ransel tersampir di satu bahu, mengenakan Jersey basket tanpa lengan, membuat otot tangannya terlihat jelas. Cowok itu menutup pintu di belakangnya dan wajah Jejak Altezza Gillova yang familiar membuat mereka tanpa sadar menelan ludah.

"Gila," gumam Pak Bagus tanpa mengalihkan pandangan dari wajah pucat cowok itu. "Kamu terlambat lagi."

Altezza tidak mengatakan apapun. Dia menaikkan tasnya lebih jauh ke atas bahu, berjalan melewati meja Pak Bagus dan melempar tasnya jatuh ke salah satu bangku. Orang-orang akhirnya membuang muka, dan untuk sesaat -hening. Bersamaan dengan suara pintu yang terbuka lalu ditutup, kelas itu mulai dipenuhi keheningan yang sangat canggung.

"Altezza, katakan sesuatu," ada nada tajam dalam suaranya.

Altezza terdiam lama. Dia menyentuh keningnya yang memiliki bekas luka. Cowok itu memejamkan mata dan bergumam pelan, "sesuatu."

Semua orang tau Altezza meskipun dia subjek sensitif di mata beberapa siswa. Dia populer, terutama karena dia adalah kapten tim basket. Setelah menghilang selama dua hari, cowok itu muncul kembali dengan hidung patah, wajah bengkak dan memar karena cedera. Sang kapten menjadi bahan pembicaraan di seluruh sekolah setelah hari itu. Begitu akhirnya hidungnya sembuh, Altezza mulai mendapatkan memar kecil di sana-sini yang diperhatikan orang. Perubahan warna di pipinya, bengkak di matanya, pincang saat berjalan, atau luka lecet di buku-buku jarinya.

"Altezza." Pak Bagus menarik napas dalam-dalam. "Kamu baik-baik saja, kan?"

Altezza hanya merespon kata-kata itu dengan senyuman tertahan.

Ketika bel terakhir berbunyi untuk hari itu, Altezza membanting pintu lokernya sampai tertutup. Dia menjatuhkan sapu tangan bernoda darahnya ke tempat sampah dan berhenti usai melihat sosok Zee berdiri beberapa langkah di depannya. Altezza memejamkan mata dan bernapas selama beberapa saat sebelum membuka matanya kembali, memelototi cewek itu. "Apa?" dia bertanya dengan permusuhan yang jelas.

Tidak ada sahutan.

Zee berjalan mendekat. Dengan kasar, dia mengeluarkan kalung yang selalu Altezza sembunyikan di balik seragamnya. Tatapan Zee terkunci pada kalung dengan liontin salib di lehernya. Cewek itu menatap Altezza sejenak sebelum akhirnya merogoh sakunya dan mengeluarkan liontin kecil bertuliskan jejak luka kemudian mengaitkannya di ujung salib. "Mulai hari ini, lo cowok gue."

718 word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang