Altezza melepaskan ciumannya. Dahinya menyentuh dahi Cadenza saat dia membungkuk. Untuk sesaat -hening. Altezza menarik napas dalam-dalam dan mundur selangkah. Dia tidak mengatakan apapun. Dan mungkin karena cowok itu mengerti, mereka tidak bisa melangkah lebih jauh lagi. Semua anak basket dan dua pelatih yang melihat kejadian itu sama-sama meringis ngeri, "Gila."
Zee mundur selangkah. Dia memperhatikan Altezza dan cowok itu balas menatapnya datar. Itu agak menyakitkan, meskipun seharusnya tidak. "Rasanya bodoh. Tapi lucu."
"Apa?"
"Gue cemburu."
Mendadak detik-detik di jamnya terasa bergerak lebih cepat. Altezza memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Raut wajah cowok itu sama sekali tidak bisa ditebak.
"Wait. Lo suka Altezza?"
Zee mengangkat satu alisnya. "Cemburu bukan berarti suka, kan?" dia menatap Altezza tanpa emosi. Hanya bisa menutup luka. Memendam rasa kecewa. Karena mau marah pun dia sadar, 'gue siapa?'
Altezza terkekeh. Tapi kemudian itu berhenti saat setetes darah jatuh mengotori lantai. Dia mendekat, melepaskan paksa masker yang menutupi sebagian wajah Zee dan tercekat saat melihat darah menetes dari bibirnya yang terluka. Dia bisa melihat goresan gelap pada sudut bibirnya, memar dan tertutup kabut biru pudar. Ada tanda merah segar yang pasti karena pukulan yang baru saja cewek itu dapatkan. Altezza menarik napas dalam-dalam. "Kenapa lo bisa terluka sampai separah ini?"
"Bukan urusan lo."
"Kenapa."
"Kenapa lo harus tau? Lo bukan siapa-siapa gue."
"Luka," ada nada tajam dalam suaranya.
Zee mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya. "Ini karena mereka berpikir gue cewek lo dan," dia menelan sisa kalimatnya. "Gue dijebak—"
"Wait. Apa lo dihajar beberapa orang nggak dikenal saat perjalanan menuju sekolah?" Buana menebak. Dia mengalihkan atensinya ke arah sang kapten. "Apa mereka adalah orang yang sama dengan orang yang mencelakai lo di bar malam itu?"
"Kenapa lo tanya dia?" Antara memukul kepala Buana dengan kepalan tangan.
"Terus gue harus tanya siapa?" Buana balas menendang perut Antara hingga terbanting kebelakang, jatuh ke lantai.
Altezza memutar mata ke arah Filosofi. Kedua cowok itu saling menatap satu sama lain, seolah sedang melakukan telepati. Setelah beberapa detik lamanya, Filosofi mengangguk paham dan berlari cepat keluar lapangan, diikuti Argen dan Guruh dibelakangnya.
"Woi. Kalian mau kemana?" teriak salah seorang pelatih. "Kembali kesini, sekarang!" Terlambat. Ketiga cowok itu sudah lebih dulu menghilang tertelan jarak.
Altezza mendekat. Dia menyibak rambut Zee dan menyentuh keningnya. "Kenapa lo nggak melawan?"
"Lo gila. Gue kalah jumlah."
"Lemah." Cadenza terkekeh. Dia menatap cewek itu remeh.
Zee mengabaikannya.
"Ikut gue," perintah Altezza. Dia berjalan melewati Zee. Cewek itu mendengus sebal dan berjalan pincang mengikuti Altezza. Kedua remaja itu berjalan dan berhenti di pinggir lapangan. Altezza menyuruh Zee untuk duduk di bawah lantai. Sementara dia membuka tasnya dan mengeluarkan P3K yang selalu Grace masukkan setiap kali Altezza keluarkan dari ranselnya.
"Gue bisa sendiri." Zee mencengkeram pergelangan tangan Altezza saat cowok itu berniat akan mengobati lukanya.
Altezza memutar mata sebelum akhirnya membuang P3K nya jatuh ke bawah lantai. Zee memungut kapasnya dan mulai mengobati lukanya dalam diam. Sesekali meringis saat kulit di sudut bibirnya tanpa sengaja tertarik dan lepas dari daging. "A-akh."
Dua pelatih yang berdiri di belakang Altezza menatapnya khawatir sekaligus ngeri.
Altezza berlutut dengan satu kaki. Tangannya terulur perlahan, membersihkan darah di sekitar luka Zee. Dia mengusap pipnya. Kemudian, dengan lembut dan sangat berhati-hati dia menelusuri memar di bawah dagunya yang terluka. Altezza mendekatkan wajahnya lebih dekat ke Zee, dan bibir kedua remaja itu hampir bersentuhan. Zee menahan napas saat merasakan sesuatu yang dingin dan lembut menyentuh luka di bawah dagunya. Altezza menciumnya. Untuk beberapa saat, hening. "Altez, lo—" Zee mencengkeram jersey basketnya usai merasakan darahnya seperti dijilat dan dihisap.
"Shh."
593 word.