"Gue sangat sensitif dengan suara. Jadi kalau ada suara sedikit pasti langsung bangun." Zee tertawa serak dan mengusap matanya yang setengah mengantuk. Dia menggenggam tangan Fana dan Abigail, sebelum akhirnya berdiri menegakkan tubuh. "Sudah pulang semua?"
"Ya. Hanya tersisa kita bertiga di kelas." Abigail mencengkeram ranselnya. "Mau pulang sekarang?"
Zee mengangguk sebagai jawaban. Ketiga remaja itu berpencar setelah melewati lantai koridor kelas sebelas. Zee meraih tas gitarnya dan keluar dari ujung lorong, berdiri di dekat jendela yang hampir mencapai seluruh panjang dinding. Dia menyandarkan punggungnya dan menatap tetesan-tetesan air hujan yang jatuh membasahi langit. "Lo tau, gue benci hujan," bisik Zee pada langit. Saku depan celana olahragnya bergetar, menghancurkan kesunyian. Dia meraih ponselnya dan menekan tombol utama. Layar menyala, menampilkan pesan teks dari Altezza.
Gue di tempat parkir.
Cewek itu mendongak. Matanya mengamati mobil-mobil yang diparkir di halaman sekolah sampai dia melihat Altezza, bersandar pada sepeda motornya. Ponselnya ada di tangannya dan Altezza mengawasi Zee dari seberang tempat parkir yang luas. Dia tidak mengatakan apa-apa. Tapi tatapannya terlalu tajam.
"Sial." Zee memaki. Seseorang yang duduk di atas motor Altezza mengalihkan atensinya. Grace menatap dingin. Zee berniat akan memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku ketika pasan lain masuk, dari Altezza lagi.
Perlu gue ingatkan sekali lagi?
"Tentang apa?" Zee mengirimkan balasan pesan berupa voice note. Dan berapa lama pun dia menunggu, Zee tidak pernah mendapatkan balasan pesan dari cowok itu.
_LUKA_
Terdengar suara klik pintu terbuka. Grace yang baru keluar dari salah satu ruangan rumah sakit, melangkah tertatih mendekati Altezza yang duduk di kursi tunggu.Cowok itu melirik Grace sekilas dan menyibak rambutnya yang menutupi dahi. Grace menipiskan jarak. Ujung sepatu kedua remaja itu saling bertemu.
"Harus berapa kali gue bilang, gue nggak suka lo bersama Zee sedetik pun," suara Grace terdengar mengancam.
Altezza tertawa pelan. Dia meraih tangan Grace dan mendaratkan telapak tangannya di atas perbannya. Ada nyeri menjalar ketika cewek itu menekan lukanya. "Hanya sampai luka di kepala gue sembuh."
"Lo suka dia?"
"Dia bukan tipe gue."
"Lo masih suka Gracia?" Altezza mengangguk cepat sebagai jawaban. Grace mencibir. Altezza dan saudara kembarnya itu terlalu bucin.
Altezza menipiskan bibir. Sebenarnya, dia tidak sebucin yang Grace pikir. Bahkan selama berpacaran, Altezza tidak pernah melakukan hal romantis sekalipun pada Gracia. Dia hanya mengurung Gracia di kamarnya untuk mengerjakan PR. Bisa dibilang, belajar adalah rutinitas harian mereka ketika pacaran di usia empat belas tahun. Tidak jarang, Altezza dan Gracia berkelahi hingga salah satu di antara mereka terluka dan dirawat di rumah sakit.
"Setelah ini, gue ada pemeriksaan tahap kedua." Grace mengalihkan pembicaraan, sesaat setelah melihat perubahan raut wajah Altezza yang mengeras.
Altezza mengangguk. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.
"Lo pasti kedinginan," tanpa menunggu persetujuan Altezza, Grace dengan cepat melepaskan jaketnya dan memakaikannya ke Altezza seperti seorang balita. Cowok itu meringis. Dia hampir lupa bahwa kulinya sendiri terlalu sensitif.
"Grace," suara dingin Meteor terdengar.
Grace meluruskan pandangan dan terkejut ketika mendapati Meteor yang entah kapan sudah duduk di sebelah Altezza. Dia tidak menyadari kehadiran cowok itu. "Ada apa?"
"Kerja kelompok," kata Meteor dengan bahasa isyarat.
Grace mengangguk. Dia kembali masuk untuk meminta izin agar pemeriksaannya ditunda beberapa waktu. Sementara Altezza dan Meteor yang duduk bersebelahan hanya diam. Tidak mengatakan apa pun semenjak Grace memasuki ruangan Dokter. Grace mengintip keduanya dari balik jendela yang setengah membuka. Kedua cowok itu benar-benar bersikap seperti es. Dingin.
"Ekhm. Hujan."
"Iya. Hujan."
Grace melotot saat mendengar pembicaraan antara dua es kutub itu.
"Dingin?"
"Dingin."
"Pulang?"
"Hujan."
Meteor merogoh saku celananya dan mengeluarkan satu kunci. "Mobil."
Altezza menerima kunci itu dan berdiri. "Thank."
Meteor mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Dia memperhatikan punggung Altezza yang perlahan menghilang tertelan jarak. Lalu tatapannya beralih pada Grace yang pura-pura diam, menatap langit-langit ruangan -hampa.
_LUKA_
Zee menggosok kedua tangannya lalu ditempelkan di kedua pipinya yang memucat. Dia bersin-bersin. Sebelah matanya bengkak. Bibirnya bergetar, menggigil. Volume air hujan turun semakin deras ketika Zee nekat untuk membelahnya. "Ergh." Zee memeluk tas punggung yang dia letakkan di depan dada. Cewek itu duduk di bangku memanjang yang berada di halte bus, menunggu Altezza.
"Tunggu gue di halte. Dan jangan pulang tanpa gue," kata-kata Altezza terus berputar seperti sebuah kaset rusak di pikiran Zee. Dia melirik sekilas jam yang melingkar di pergelangan tangannya, pukul lima sore.
"Fuck." Zee memaki. Sudah lebih dua jam menunggu, siluet Altezza belum juga menampakkan diri.
Suara petir menyambar membuat Zee segera menyembunyikan diri di balik ranselnya. Sekelebat memori asing yang melintas di kepalanya membuat Zee seperti terlempar kembali ke masa-masa kelam. Samar, dia melihat dua anak kecil terlentang di atas aspal dengan tubuh yang di penuhi luka dan darah. Terlihat seperti korban kecelakaan. Hanya begitu saja tubuhnya dibuat lemas. Matanya berair dan napasnya memburu bersama dadanya yang mendadak sesak. Beberapa detik setelahnya, bayangan itu perlahan memburam.
Zee memegangi kepalanya dan tanpa sadar menyentuh luka jahitan memanjang antara kepala dan telinga. Cewek itu menggigit bibirnya.
Dia tersadar satu hal.
Zee.. kehilangan ingatan masa kecilnya.
Detik yang sama, sebuah mobil hitam berhenti. Zee menajamkan penglihatannya. Samar, dia melihat siluet remaja cowok yang meringkuk kedinginan seperti anak kecil di kursi kemudi. Tubuh cowok itu menggigil. Bibirnya pucat dengan darah yang perlahan mengalir keluar dari dalam hidung. "Errgh," dengan cepat, Altezza berbalik badan memunggungi Zee, menyeka darah yang mengalir di hidungnya dengan lengan kiri. "Shit."
877 word.