EIGHTY SEVEN

8.5K 2.2K 593
                                    

Luka terjatuh sambil berdengap, tangan menekan luka. Pembuluh darahnya seperti terkena setrum. Rasa pahit menjalar naik ke kerongkongannya. "Ayo pukul lagi. Pukul gue sampai mati," katanya parau. Dia menatap Altezza. Matanya sembab. Tidak seorang pun keberatan dia dipukuli sampai berdarah-darah.

Para anggota Triggerblack berlari mendekati kedua remaja itu. Altezza menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosinya. Kedua lengannya ditarik mundur ke belakang oleh Tyaga dan Guruh. Tapi Altezza segera menepisnya dan dengan pelan meletakkan kepala Luka yang berdarah di pangkuannya.

"Ez, kita harus segera membawa dia ke rumah sakit." Buana, cowok yang masih memiliki sisi kewarasan memberikan isyarat lewat tatapan mata. Tapi teman-temannya hanya menanggapi itu dengan memutar mata. Mereka hanya bergerak ketika ketuanya memberikan perintah. "Ez, dia sekarat. Cewek lo bisa mati kehabisan darah!"

"Ceweknya nggak kecelakaan sampai mati," salah satu dari mereka berpendapat. "Itu keren."

Buana menatap Filosofi tidak habis pikir. "Lo gila atau apa? Dia kehilangan banyak darah. Apa menurut lo itu juga keren?"

"Berisik banget." Filosofi membungkam mulut Buana. "Lo nggak tau, kan rasanya kecelakaan sampai berdarah-darah dan nyawa berada di ambang batas kematian? Dan itu," Filosofi melepaskan bekapan Buana dan menyibak rambutnya yang menutupi dahi. Cowok itu menggigit bibirnya dan mengulum senyum. "Keren."

"Ba-wa gue ke rumah sakit, brengsek." Luka muntah-muntah.

Altezza tidak bereaksi apa-apa. Demi Tuhan, melihat Luka yang berdarah seperti sekarang mengingatkannya pada sosok gadis kecil yang kerap menghantuinya. Gadis yang tidak dia kenal, tapi membekas setiap kali dia terbangun dari tidurnya, mimpi panjangnya. Menghela napas, Altezza menyatukan poni Luka dengan telunjuknya ke bagian samping kening. Cowok itu mendekatkan wajahnya kemudian menyatukan dahi keduanya. Dia mengusap lembut pipi Luka yang kian memucat. "Lo, cantik."

Luka mengepalkan tinju ke pipi Altezza tanpa tenaga. Napasnya terengah-engah. Dadanya mendadak sesak, seakan ada ribuan ton menekan agar oksigen tidak masuk ke paru-parunya.

Altezza menyentuh pipinya yang barusan ditunju Luka. Dia berniat membalasnya tapi cowok itu mengurungkan niat ketika kesadaran Luka berada di ambang batas. Matanya tertutup perlahan, dan bibirnya meng-gumamkan kata 'sayang' dengan sangat pelan. "Sayang?" Altezza terbengong sesaat. Dia terlihat seperti bocah yang kebingungan. "Barusan lo panggil gue apa? Sayang, kan? Hei, buka mata lo." Cowok itu mengguncang pundak Luka. "Ngomong sekali lagi. Ayo. Gue mau dengar kata sayang sekali lagi."

"Brengsek." Luka terbatuk. Dia mendorong dada Altezza menjauh. Sesak di dada cewek itu semakin menyeruak. Tulang di tubuhnya seperti retak, melebur dalam darahnya yang membeku. Luka bergumam, "Ba-wa gue ke rumah sakit, tolong."

Diam-diam, Buana menelpon salah satu keluarganya yang bekerja sebagai staff di rumah sakit. Cowok itu mundur beberapa langkah tanpa suara, mencoba menjaga jarak dari teman-temannya yang masih fokus menyaksikan ke- bucinan ketuanya.

"Sa-yang."

"Sayang?" Kendalikan diri lo, batin Altezza pada dirinya sendiri. Dia menundukkan kepala dengan kedua tangan bertumpu pada pundak Luka. Rasanya seperti melihat bayangan pacarnya melalui air kotor, dan Altezza merasakan darahnya mendidih. Dia membutuhkan waktu untuk mendingin.

"Jangan khawatir."

Pupil kelabunya langsung menggelap. Altezza memiringkan kepala dan menatap semua teman-temannya tanpa emosi. Cowok itu mendesis serak, "gue nggak khawatir." Tidak. Lebih tepatnya Altezza tidak suka, "cewek gue di pukul cowok selain gue."

"Ergh," Antara mengusap lengannya yang mendadak menggigil. Atmosfer di sekitarnya mendadak dingin. "Jadi, apa rencana lo sekarang?" Para anggota Triggerblack mengangkat satu alisnya, menunggu instruksi. Mereka menatap sang leader. Cowok itu menyelipkan tangannya ke punggung Luka, menariknya duduk dan membawa cewek itu ke dalam pelukan. Luka mengerang. Dia berusaha menjauhkan diri dari Altezza, tapi Altezza malah menekan punggungnya semakin merapat dan membenamkan wajahnya lebih dalam ke dada cowok itu. "Nggak ada."

"Nggak ada?" mereka bengong. "Lo serius?'

"Nggak juga." Altezza terkekeh. Salah satu sudut bibir cowok itu terangkat, tersenyum miring. Altezza tidak mengatakan apapun. Tapi para anggota Triggerblack tau maksud sang leader. Mengeram marah sebagai keluhan, mereka semua kompak membanting helm. "Something out of plan." Filosofi meregangkan otot tangannya yang terasa kebas. "Lo tau, Ezz?" Matanya menatap nyalang. "Romantis lo ke cewek benar-benar anti-mainstream."

TBC.
654 word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang