EIGHTY ONE

8.2K 2.1K 673
                                    

Hari ini terasa lebih sakit. Altezza menyandarkan punggungnya pada batang pohon di dekat perapian. Cowok itu menyentuh perban luka di perutnya, dan mendesis.

Zee melirik Altezza sekilas dan kembali memejamkan mata, berusaha terlelap. Angin musim dingin bertiup kencang. Seluruh sarafnya seolah dibekukan. Kak Gaviantara dan Petir benar-benar menghukumnya. Jam dua belas malam. Semua orang yang berada di perkemahan sudah masuk ke dalam tenda, kecuali Altezza dan Zee. Kedua remaja itu akan menghabiskan malam di bawah bentangan alam, dengan di temani suara hewan malam yang saling bersahutan. "Apa menurut lo, di hutan ini ada binatang buas?"

"Kenapa?" Altezza mengangkat satu alisnya. "Lo takut?"

"Gue lebih takut sama lo." Altezza tertawa pelan. Dia berdiri dan berjalan pincang melewati Zee yang perlahan membuka mata, menatap punggungnya dari kejauhan. "Mau kemana?"

"Lihat bintang."

Zee berdiri dan merapatkan jaket yang dikenakannya. "Gue kedinginan."

"Lo pikir, gue nggak?" Altezza terkekeh. Cowok itu hanya memakai kaos tipis tanpa lengan, membuat udara malam seakan membekukan darah. "Mau ikut gue ke rumah pohon?"

Zee tidak mengatakan apapun dan berjalan dengan langkah tertatih mengikuti cowok itu. Altezza dan Zee melangkah memasuki semak-semak dan berhenti di bawah rumah pohon yang tertutupi akar menjalar. "Gue ngerasa nggak asing sama tempat ini." Zee bergumam, menatap tangga yang patah di bagian bawah.

"Gue juga."

"Apa?"

"Lupakan."

Zee mendengus sebal. Dia berniat akan menapaki kakinya di anak tangga pertama, tapi Altezza segera menahannya. Zee menepis tangannya. "Jadi alasan lo ngajak gue ke rumah pohon ini, apa?"

"Gue, gabut." Altezza mengangkat bahu. Dia mendorong Zee menjauh dan menginjakkan kakinya di anak tangga pertama yang menyatu dengan batang rumah pohon. Setelah memeriksa bahwa tangga itu cukup kuat untuk dinaiki mereka berdua, Altezza mulai menaiki tangga, diikuti Zee di bawahnya. Setelah berada di atas, kedua remaja itu langsung bersandar di dinding kayu yang berada di dalamnya.

Terdengar suara teriakan tertahan.

Altezza dan Zee mengintip dari jendela rumah pohon dan melihat Petir sedang mencari keberadaan kedua remaja itu. Zee membekap mulut Altezza, dan keduanya saling menatap tajam. Penerangan diantara mereka hanya lewat cahaya bulan yang masuk menembus celah-celah dedaunan. "Kalau sampai ketahuan, lo bakal gue hajar."

Altezza tertawa pelan dan membuat keributan. Petir mendongak, menatap rumah pohon itu, curiga.

Zee lalu membuat suara, menirukan suara kucing liar. Tanpa diduga, Petir berbalik badan dan memilih kembali masuk ke dalam tenda. Altezza menahan tangan Zee saat cewek itu benar-benar berniat akan menghajarnya. Dia mengingatkan Altezza pada sosok Gracia. "Lo dan dia punya beberapa kemiripan. Terutama di bagian mata dan bibir," gumamnya.

"Lebih cantik gue?"

"Ya," jeda sejenak. "Nggak lah. Dia lebih cantik."

"Nyebelin."

"Tapi lo sayang, kan?" Altezza tertawa pelan. Zee tidak menyangkal. Dia menyayangi Altezza sejak tau hidup cowok itu tidak akan bertahan lebih lama, dan ketika waktunya benar-benar selesai, "Terkadang lo nggak akan tau betapa berartinya seseorang sampai dia menghilang dari kehidupan lo." Altezza mengintip langit mendung dari jendela rumah pohon. Dia berkedip dua kali. "Karena seseorang akan jauh lebih berharga ketika sudah hilang, kan?"

"Ya. Itu berlaku untuk semua orang kecuali lo." Zee membuka jaketnya dan memasangkannya ke tubuh Altezza seperti seorang balita. "Gue boleh tanya sesuatu?"

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang