ONE HUNDRED AND FOUR

6.8K 1.5K 293
                                    

"Eungh.."

Di sebuah taman kota, seorang anak cowok tergeletak nahas di atas rumput yang dingin. Tubuhnya pucat menggigil. Anak itu menggenggam tangan gadis kecil yang berbaring di sebelahnya. Jejak mendesis saat merasakan dinginnya udara seakan menusuk kulit. Bibirnya bergetar, menggigil.

"Jejak," suara Luka terdengar serak. Matanya terbuka perlahan -menatap anak itu setengah sadar. "Kamu kedinginan."

Jejak menggeleng lemah. "A-ku mau hu-jan."

"Tapi kamu kedinginan."

"Te-tap mau," dia bersikeras. "Ma-u hujan."

Luka menghela napas dan mendudukkan diri dengan lutut yang ditekuk. Jika tau anak itu akan menggigil, dia tidak akan menyuruh Jejak untuk ikut menunggu hujan membasahi langit. Kulit Jejak benar-benar sensitif terhadap udara dan air. Luka menghela napas. Dia menyelipkan tangannya ke punggung Jejak, menariknya duduk dan menyandarkan tubuh lemah anak itu ke belakang punggung. Keduanya saling membelakangi.

Luka menarik napas dalam-dalam. "Mau pulang?"

Jejak menolak. "A-ku nggak ke-dinginan sampai ma-ti."

Luka menipiskan bibir. Tanpa di duga, Jejak membalikkan tubuhnya, mendekat dan membawa gadis itu ke dalam pelukan. Detik yang sama, hujan turun dengan sangat deras tanpa terduga. Jejak semakin mengeratkan pelukannya. Sementara Luka menggigit bibirnya, cemas.

"Jejak, lepas."

Jejak menunduk, membuat poninya menjuntai bukan hanya menutupi mata, tetapi juga hidungnya. Anak itu melepaskan pelukannya dan berdiri, membiarkan hujan membuat tubuhnya semakin menggigil. Bibirnya mendesis. Jejak mendekap tubuhnya sendiri dan berjalan pincang melewati Luka yang menatap punggungnya yang perlahan menjauh.

"Jejak, tunggu!"

Luka berdiri dan berlari mengejar Jejak yang terlihat akan jatuh. Dia menahan tubuh Jejak dan kedua anak itu langsung jatuh ke dalam lumpur. Luka menahan napas, dan Jejak tertawa lemah. Dia mendekatkan wajahnya lebih dekat ke Luka dan bibir kedua anak itu hampir bersentuhan. Waktu seakan melambat beberapa detik. Dan Luka memejamkan mata usai merasakan sesuatu yang dingin dan lembut menyentuh keningnya.

_LUKA_

"Ada bau mayat busuk. Bau anyir darah. Gue mau muntah."

Luka menajamkan indera pembaunya dan terbatuk. Dia menurunkan Altezza dari gendongannya dan cewek itu langsung muntah-muntah. Altezza mengusap punggung Luka, perhatian. Dia menyipitkan mata, curiga pada salah satu kardus yang tergeletak nahas di pinggir trotoar, dekat tong sampah. Ragu, Altezza membuka kardus itu dan tercekat saat melihat dua jasad anak anjing yang sudah membusuk. Kaki dan tangannya sama-sama terbelit. Kepalanya terputus dan sebagian organ dalamnya keluar dari perut. Tubuhnya berantakan, terbelah. Darah merembes keluar.

"Shit."

Amis darah yang merambat ke lidah, Altezza menutup kardus itu kembali dan membekap mulutnya dengan lengan kiri, berusaha menahan sesuatu yang berdesakan ingin keluar dari leher. "Ergh, sial." Altezza dan Luka merangkak menjauh, terduduk kelelahan sambil bersandar pada tiang listrik di kanstin trotoar. Kedua remaja itu menajamkan tatapan, kemudian tertawa lemah.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang