ONE HUNDRED ELEVEN

23.8K 2.2K 2.1K
                                    

Luka menjambak rambut Altezza. Matanya yang lembut berubah nyalang, menghujamnya. "Merekam atau mengambil foto tanpa izin pihak terkait bisa dikenakan hukuman penjara maksimal sepuluh tahun kurungan dan denda maksimal seratus lima puluh juta rupiah." Luka menggantungkan kalimatnya ketika melihat salah satu tangan Altezza terkepal, mati rasa. "Wait, wait. Lo nggak mungkin berniat menghajar gue, kan?"

Altezza tidak mengatakan apapun. Sorot matanya beku. Tanpa berkata sepatah kata pun, Altezza berdiri dan melempar handphonenya jatuh ke bawah akar pohon sebelum akhirnya menyeret langkah menuju arena tinju.

"Tch." Luka mendecih. Dia meraih handphone Altezza dan menekan tombol power. Handphone cowok itu tidak memiliki keamanan. Luka membuka galeri dan membelalakkan matanya -tidak percaya saat melihat tidak ada satupun foto kecuali fotonya dan cowok itu beberapa detik lalu. Luka mengangkat wajahnya sedikit, menatap punggung Altezza yang perlahan menjauh. Dunia cowok itu terlihat sangat kecil dan sempit. Dia menjadi rapuh dan mulai retak. Seperti tanah sekarat dimana tidak pernah hujan.

"Sialan." Luka memaki. Bunyi ranting patah membuat cewek itu spontan menoleh. Netranya menajam. Jaket yang tersampir di atas bahu dibiarkan jatuh. "Siapa?"

Tidak ada jawaban. Memilih mengabaikan, Luka berdiri dan mencoba mengejar langkah Altezza yang terkesan cepat. "Altez, tunggu!" Luka berteriak parau. Dia berlari sembari menekan luknya yang terasa perih. "Shit. Lo benar-benar seperti obat bius."

Luka mempercepat langkahnya. Perutnya bergejolak mual. Dia memuntahkan sisa darah Altezza yang masih membekas. Bibirnya semerah darah. Cewek itu memegangi perut dan menjatuhkan dirinya ke tanah. Terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah siluetnya. Luka menyipitkan mata -melihat sepasang kaki manusia berdiri menutupi penglihatannya. Ragu, dia mendongak dan mendapati Altezza menyeringai sinis ke arahnya. "Gue kira lo diserang serigala."

"Bagaimana kalau tadi itu benar-benar serigala? Lo mau menggantikan gue sebagai mangsa?"

"Ya."

Luka terbatuk. Dia mendesis saat lidahnya tidak sengaja tergigit. Jawaban Altezza tanpa sadar membuat jantungnya seakan berhenti berdetak beberapa detik. Altezza menggeleng, tertawa pelan. Cowok itu menyibak rambutnya yang menutupi dahi kemudian berlutut dan mensejajarkan posisinya untuk menatap mata cewek di depannya. Dia mengangkat satu alisnya. "Boleh gue lihat lidah lo?"

Luka menjilat bibirnya yang mendadak kering. Ragu, dia menjulurkan lidah.

Altezza memperhatikan luka pada ujung lidah ceweknya. Terdapat darah di sekitar luka gigitan. Altezza menatap Luka sejenak sebelum akhirnya memajukan wajah dan meniup lukanya. Cewek itu menahan napas saat udara dari mulut Altezza menerpa kulit lidahnya. "Dingin?"

Tergesa, Luka mendorong pundak Altezza dan tanpa sengaja membuat siku cowok itu menabrak batang pohon yg tumbuh di sebelahnya. Sebelum Altezza mampu merasakan nyeri, Luka lebih dulu meraih dan membawa tangan cowok itu menuju bibir, detik selanjutnya tiupan lembut menyapu kulit sikunya. "Sakit?" tanya Luka sambil terus meniup ujung siku dan mengusap lembut dengan ibu jari.

Altezza menjilat bibir -mendekat dan menyatukan poni Luka dengan telunjuknya ke bagian samping kening. "Lo memperlakukan gue seperti anak kecil."

Luka menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosinya. Dia mendongak, bertepatan dengan Altezza yang menunduk. Cowok itu kehilangan fokus. "Lo tahu?" Luka meraih tangan Altezza dan menggenggamnya. Kulitnya kasar dan dia merasakan keropeng di sepanjang buku-buku jarinya. Altezza melihat tangannya dan dia melihat tanda merah di kulit pucatnya. "Karena di mata gue, lo rapuh."

Altezza menulikan pendengarannya. Dia memutar mata, melirik ponselnya yang masih berada di genggaman Luka. "Kembalikan ponsel gue."

"Nggak."

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang