Terkadang dia terlihat begitu kesepian. Seperti terperangkap dalam satu lubang yang digalinya sendiri. Sadar maupun tidak, seakan terang membuatnya takut. Kesan itulah yang ditangkap Zero pada detik pertama dia menginjakkan kaki di atas darah Altezza.
Anggota TRIGGERBLACK yang berjumlah tujuh belas orang kompak turun dari atas motor dan tercekat usai melihat banyaknya darah yang tergenang di bawah kaki Zero. Dua tahun lalu, mereka pernah melihat kejadian serupa yang membuat salah seorang seniornya meninggal dunia setelah insiden berdarah di atas tanah yang digenangi darah Altezza. Filosofi meraih ponselnya dan menekan tombol utama. Layar menyala, menampilkan waktu dan tanggal yang sama di hari kematian ketuanya.
"Damn it. Not now."
Zero bergegas mengikuti jejak darah Altezza yang mengarah ke sebuah toilet tua di belakang Bar.
Filosofi dan Meteor memberikan instruksi kepada teman-temannya agar tetap diam di tempat dan membiarkan Zero bergerak sendirian. Mereka menajamkan tatapannya, mengawasi keadaan sekitar. Zero menendang pintu toilet hingga terbuka. Dia masuk ke dalam tanpa hambatan dan mendesis geram saat melihat Altezza sudah tidak ada disana.
Fuck.
Zero memutuskan kembali ke tempat awal. Dia kehilangan jejek Altezza dan- tunggu. Zero mengerutkan keningnya, terlihat sedang berpikir keras. "Jejak terakhirnya putus di toilet Bar. Dan motornya," Zero menatap sekitar, lalu menggertakkan giginya setelah sadar jika Altezza mengendarai motornya dengan kondisi tubuh berdarah, terluka parah.
Filosofi dkk memejamkan mata. Dan semuanya mulai mati rasa.
_LUKA_
Ergazza mendesis ketika merasakan perih pada ujung lidahnya yang tanpa sengaja tergigit.
Cadenza yang baru muncul dari pintu utama rumah berjalan melewati cowok itu. "Apa?" Dia memberikan tatapan permusuhan yang jelas. Detik selanjutnya, Cadenza merasakan tangannya seperti digenggam oleh Ergazza. Dia menahan napas ketika Ergazza kembali menautkan jari-jari tangan keduanya.
"Lidah gue kegigit." Ergazza menjulurkan lidahnya, memarkan luka gigitannya pada Cadenza. "Tiupin."
"Nggak mau. Lepas." Bukannya melepaskan Cadenza, Ergazza justru semakin mengeratkan genggamannya dan menarik Cadenza menuju sofa di ruang tengah. "Lepas, nggak?" Cadenza tidak memberikan Ergazza waktu untuk menjawab dan langsung menghajar wajah cowok itu dengan kepalan tangan.
Tanpa di duga, Ergazza menarik jatuh Cadenza ke atas pangkuannya. Untuk beberapa saat, hening. Kedua remaja itu hanya saling bertatapan tanpa sepatah kata yang keluar dari bibir.
"Elga, Denza!"
Teriakan anak kecil dari arah pintu utama rumah memutuskan tatapan Ergazza dan Cadenza. Mereka menoleh dan tercekat saat mendapati seorang anak laki-laki berdiri gagah di samping Papanya. Dia, Lautan. Anak itu membuka tudung hodienya dan mengikat dahinya dengan headband hitam, menutupi bekas luka. Dia terlihat seperti Altezza.
Erlangga terbatuk, membuat Cadenza segera melompat turun dari pangkuan Ergazza.
"Kak Altez mana?"
"Mati," jawaban Ergazza tanpa sadar membuat mata Lautan berkaca-kaca. "Ma-ti?" Bibir Lautan bergetar, menahan tangisan. "Apa itu mati?"
"Lo serius nggak tau arti kata, 'mati'?"
Lautan menggeleng lemah. "Aku nggak tau artinya sampai mau nangis."
Ergazza mendecih.
Lautan mengabaikannya. Dia berlari menaiki undakan tangga menuju kamar Altezza di lantai dua. Anak itu mendorong pintu kamar Kakaknya sekuat yang dia bisa hingga membuka. Bukannya mendapati Altezza, anak itu justru mendapati genangan darah Altezza di bawah lantai. Warnanya sepekat arang.
Lautan menunduk, berjalan gamang mengikuti jejak darah tersebut. Dia berjalan keluar balkon dan berhenti saat jejak terakhirnya putus. Sebuah kaki tinggi menutupi penglihatan anak itu. Ragu, Lautan mendongak dan tercekat saat melihat mata Altezza menatapnya penuh permusuhan. Dengan hidung patah, wajah bengkak, dan memar karena cedera.
"Al-tez." Lautan menyentuh tangan Kakaknya yang dipenuhi cairan merah. Dia memajukan bibirnya, cemberut. "Kamu mati?"
Altezza menarik napas dalam-dalam. "Nggak lama lagi."
"Sebentar lagi?" Lautan menggeleng. "Kamu kan udah mati. Lihat?" Lautan dengan polosnya memarkan bercak darah Altezza yang menempel di tangannya. "Ini mati, kan?"
Altezza merotasikan bola mata, malas.
Lautan melihat turun ke bawah balkon kamar Altezza dan melihat banyaknya darah yang menempel di tembok rumah, sepanjang balkon. Lautan menoleh, menatap Altezza yang juga sedang menatapnya. "Keren," hanya kata-kata itu yang mampu keluar dari bibir mungilnya. "Aku juga mau mati seperti Altezza."
Altezza kehabisan kata-kata. Dia tidak mati. Setidaknya, belum. Lalu tatapan cowok itu terjatuh pada seorang cewek yang menatapnya tajam dari bawah balkon. Dia mengawasinya dalam gelap. Cewek itu tidak berkata apa-apa. Tapi tatapannya terlalu tajam. "Luka."
675 word.