ONE HUNDRED AND FIVE

6.8K 1.6K 300
                                    

Cadenza melepaskan helm full face-nya. Dia menajamkan netranya yang selegam jelaga, kemudian mengepalkan tinju ke udara dan mengenai beberapa tetes air hujan yang jatuh membasahi langit. Cewek itu menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosinya. Dia turun dari atas motor dan melangkah tanpa suara mendekati Altezza dan Luka. Kedua remaja itu kompak memiringkan kepala, mengangkat satu alisnya seolah berkata, 'apa?'

Cadenza tersenyum miring. Dia berjalan mendekat dan menyentuh dada Altezza yang berkeringat. "Ada noda darah disekitar kaos lo."

"Persetan," Altezza menggumam dan menjauhkan tangan Cadenza sebelum menatapnya datar. "Ini nggak seperti gue ditikam atau apa. Gue baik-baik aja. Gue masih bernapas. Dan-" Cadenza tertawa serak. Dia tidak terlihat ragu-ragu ketika dia mendorong dirinya lebih dekat ke Altezza dan mengalungkan tangannya ke bahu cowok itu. "Apa bagian yang terluka sudah sembuh?"

"Belum."

Bayangan hitam menutupi langit. Cadenza menatap Luka yang juga sedang menatapnya. Cewek itu tidak mengatakan apa-apa. Tapi tatapannya terlalu tajam. Dia cemburu? Tanpa sadar, salah satu sudut bibir Cadenza terangkat, tersenyum miring. Dia mencengkeram leher Altezza dan menyentuh pipi cowok itu dengan bibirnya. Tatapan tajam di mata Luka berangsur dingin. Cadenza tertawa pelan. Dia menatap Altezza. "Siapa?"

"Cewek gue."

Cadenza kehilangan kata-kata. Matanya terpaku ke mata Altezza. "Gue tau lo nggak serius."

Altezza mengangkat satu alisnya.

Cadenza tertawa, memamerkan gigi gingsulnya yang terlihat manis. Dia melepaskan pelukannya dan mundur selangkah, menatap Luka dari ujung kaki hingga kepala. Cewek itu tersenyum misterius. Dia berteriak keras ketika Altezza memutar lehernya dengan posisi ganjil. Terdengar bunyi pergeseran tulang. Altezza mencengkeram lehernya dan menyerangnya dengan dahi, mengenai batang hidung Cadenza dengan satu hantaman lurus. "Lo bakal mati kalau mengganggu Luka gue."

"Manusia hidup dengan sulit," Cadenza tertawa dengan napas tersendat. "Tapi mati dengan mudah, ya?"

Altezza tertegun.

Cadenza terbatuk. Dia balas mencengkeram leher Altezza yang sekali lagi menghantamnya dengan dahi. Matanya yang lembut berubah nyalang, menghujamnya. Suara Cadenza serupa belati, menyayat kerongkongannya. Dia mendesis, "Luka nggak peduli dengan cahaya yang perlahan pergi, tapi Luka takut kalau esok dia nggak bisa lihat Jejaknya lagi."

-x word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang