Zee menggeleng tidak habis pikir. Untuk beberapa waktu, dia mengira jika Altezza akan menawarkannya pulang bersama dikarenakan keduanya tinggal di Apartemen yang bersebelahan. Tapi kenyataannya malah sebaliknya.
Realita berhasil menghancurkan ekspetasinya.
Altezza terkekeh sembari memutar kunci. Cowok itu memundurkan motornya sedikit sebelum akhirnya melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan Zee yang terduduk sendiri, menatapnya seolah menyuruhnya untuk berhenti. Benar-benar cowok nggak punya hati.
Menghela napas, Zee berdiri dan menaikkan tasnya lebih jauh ke atas bahu. Samar, dia mendengar suara Bego. Cewek itu memutar mata ke arah cowok yang berjalan ke arah gerbang sekolah sambil menangis. "Bego!"
Bego menoleh. Dia menutup dada telanjangnya dengan tas ransel. "Zee-grey manggil aku?"
"Lo menanyakan sesuatu yang sudah jelas jawabannya."
Ragu, Bego menyeret langkah mendekati Zee dan mundur ketika cewek itu melangkah maju.
Zee menatap dingin.
Bego menunduk ketakutan. "Ja-jangan pukul Bego. Nanti Bego e-ek."
Zee memutar mata. Dia merogoh ranselnya, meraih jaket abu dan melemparkannya ke pelukan Bego. "Pakai," jari telunjuknya menunjuk ke arah langit yang bergemuruh parau. "Sebentar lagi hujan. Jangan sampai lo demam karena kedinginan."
Bego mengangkat wajahnya sedikit dan tersenyum malu. Awalnya, dia mengira jika Zee adalah cewek dingin yang cuek. Tapi ternyata, Zee tidak se-mengerikan itu. "Te-rima kasih."
Zee tidak mengatakan apapun dan memilih pergi meninggalkan Bego sembari mendorong motornya keluar area sekolah. Cowok itu sempat menawarkan Zee bantuan untuk ikut mendorong motornya sampai ke Apartemen, namun Zee menolak dengan isyarat gue-bisa-melakukannya-sendiri.
Zee menunduk saat mendengar suara janggal dari perutnya. Dia memejamkan mata rapat saat baru sadar jika sejak pagi tadi, dia belum sempat sarapan dan makan siang. Memilih mengabaikan, Zee melanjutkan mendorong motornya dengan sisa tenaga yang dia punya hingga sampai di satu jalan yang tampak sepi dan juga gelap yang mendominasi. Di sisi kanan-kiri jalan terdapat pohon Pinus yang tumbuh menjulang. Beberapa daun layu jatuh berguguran. Udara dingin menyegarkan, membuat Zee merasa sedikit lebih tenang. Dia tersenyum dan memilih memarkirkan motornya di sisi trotoar.
"Hidup ini memang fiksi. Seringkali hanya imajinasi." Zee terkekeh, menangkap satu daun layu yang gugur ke arahnya.
"Dan hidup memang nggak pernah sesederhana kelihatannya."
Zee memutar mata ke arah sumber suara dan mendapati Erga, cowok yang malam itu nyaris membuatnya terluka parah.
Erga menyandarkan punggungnya di salah satu batang pohon Pinus. Cowok itu seperti sedang memikirkan sesuatu hal, entah itu apa. Dia menyibak rambutnya yang menutupi dahi dan melangkah mendekati Zee yang menatapnya dingin. "Dunia itu sempit banget, ya?"
Zee tidak mengatakan apapun.
Erga tersenyum sinis. Dia memperhatikan penampilan Zee dari ujung kaki hingga kepala. Zee termasuk ke dalam salah satu tipe cewek langka yang pernah Erga temui. "Kenapa lo nggak lari?"
"Kenapa gue harus lari?" Zee balik menatap Erga tidak kalah sinis. Cowok itu terkekeh. "Apa lo nggak takut mati?" Ketika Zee baru akan mengatakan sesuatu, Erga sudah lebih dulu mengeluarkan pisau lipat dari dalam hodie.
476 word.