Meteor dan teman-temannya melipat sajadah masjid kemudian meletakkannya kembali ke dalam lemari kecil khusus yang sengaja diletakkan Marbot di setiap sudut dinding. Sementara di teras masjid, Altezza dan teman-temannya yang non muslim menunggu Meteor yang masih berdoa bersama para jemaah lain. Altezza menyembunyikan kalung salibnya di balik jaket dan menunduk, menatap kedua tangannya yang saling bertautan dingin.
"Itu fungsinya apa?" salah seorang anak TRIGGERBLACK menopang dagunya dengan satu tangan, terlihat bosan.
"Menutup aurat."
"Kalau itu?"
"Sama. Menutup aurat juga."
"Oh, kalau yang itu?"
"Itu sajadah. Gue nggak tau fungsinya apa." Antara memutar mata. "Gue kan, non muslim."
Sebagian anggota TRIGGERBLACK mendecih. Lalu terdengar suara derap kaki melangkah ke arah mereka. Altezza dan teman-temannya memiringkan kepala, menatap Meteor yang baru selesai berdoa bersama jamaah lainnya. Dua cowok di belakang Meteor menyeret tubuh Filosofi yang terlihat lesu. Cowok itu mengantuk.
"Oh ya, Ezz. Lo dan pacarnya Filosofi kan sama-sama Nasrani. Kenapa lo dan dia nggak-" Antara membungkam mulut Guruh.
Salah satu sudut bibir Altezza terangkat, tersenyum sinis. "Gue dan Fana hanya mempercayai Tuhan yang sama. Tapi perasaan gue dan dia jelas beda, kan?"
_LUKA_
Daun-daun yang berubah warna menjadi orange dan melewati hidup tak terhitung itu mati dan menjadi pupuk kompos bagi pohonnya.
Pukul tujuh pagi.
Altezza menyandarkan punggungnya di balik pintu ruangan tempat Luka dirawat. Para anggota inti TRIGGERBLACK yang tersisa memilih menenggelamkan diri di pojok koridor, duduk diam sambil memainkan jari anggotanya satu sama lain. Sesekali memijat pelipis mereka yang terasa pusing dan berdenyut nyeri.
"Lo, ok?" Filosofi mendekat dan menarik kepala Argen bersandar di pundaknya. "Kalau ngantuk, bobo aja."
"Hm." Argen menyahut parau dengan punggung tangan menutup mata dan tengkuk bersandar ke pundak Filosofi. Dia mendongak, bertepatan dengan Filosofi yang menunduk. Kedua remaja itu berpandangan sesaat, kemudian tertawa lemah. "Gue boleh tanya sesuatu?" tanya Filosofi. Argen tidak mengatakan apapun dan membiarkan Filosofi menyelesaikan kata-katanya. "Kenapa lo bisa suka gue?"
Argen mengerutkan kening, terlihat sedang berpikir keras. "Gue nggak tau. Mungkin karena itu, lo."
"Fuck." Zero dan sebagian anggota TRIGGERBLACK memaki, menutup wajah mereka dengan jaket.
Filosofi memutar mata. Dan Antara spontan membanting helm ketika menyaksikan Filosofi tiba-tiba menunduk untuk mencium dahi Argen. Cowok itu tau Filosofi hanya ingin membuat mereka semakin merasa jijik. "Gue jijik beneran, Los. Serius."
Filosofi tertawa dan menjauhkan bibirnya. Sementara Argen menggigit lidah, dan mencengkeram jaket Filosofi. Tangannya gemetar. "Los, lo apa-apaan?"
"Gue kenapa?" Filosofi bersikap seperti tidak ada yang spesial di antara mereka. Dia bersikap seolah kecupan di keningnya adalah hal yang biasa. Padahal seharusnya tidak. "Lo marah, Gen?"
"Gue- nggak." Argen membuang muka. Dia menahan napas ketika Filosofi menyentuh pipinya dan mengusapnya pelan. "Lo ganteng, Gen. Tapi sayang, Gay."
"Los, udah, Los. Kata-kata lo buat gue merinding, anjir." Antara merasakan keganjilan di udara. Atmosfer di sekitarnya mendadak horor. Dia dan teman-temannya masih menutupi wajah dengan jaket. Filosofi tertawa tanpa humor. Detik yang sama, suara teriakan anak kecil memecahkan kekacauan di antara mereka.