"Shh.. shit!" Altezza memaki dalam diam kala hujan tiba-tiba turun membasahi kota. Cowok bermarga Gilovva itu meringkuk lemah -membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut. Sesekali mendesis kala merasakan dinginnya udara seakan menusuk kulit. Bibirnya bergetar, menggigil.
Jika sudah seperti itu, Altezza hanya butuh satu hal,
"Peluk.." gumamnya lirih di dalam selimut. Dia terlihat seperti bocah SD yang sedang merengek minta di belikan ice cream. Padahal sama sekali tidak ada siapapun di dalam kamar apartemennya selain raga dan bayangannya sendiri. Karena sejak dua bulan lalu, Altezza memutuskan untuk tinggal sendiri setelah Ayahnya menikah dengan wanita lain. Sedangkan Bundanya, memilih mengakhiri hidupnya dengan cara membakar diri.
Altezza merasa semestanya hancur sejak saat itu. Hatinya sudah tidak lagi terbentuk. Satu-satunya alasan mengapa dia tetap bertahan hidup telah direnggut. Seperti bayangan hitam yang tersesat di kegelapan -Altezza memejamkan mata rapat, berusaha terlelap. Ketika jiwanya nyaris terlepas dari raga, detik yang sama mata itu kembali terbuka.
Altezza mengerang. Dia menatap langit-langit putih yang temaram -gelap tanpa pencahayaan. Menghela napas, cowok itu beringsut duduk dan menyingkirkan selimut. Dia melangkah turun dari atas kasur dan berjalan dengan langkah terseok mendekati pintu.
Di sisi lain, Zee menatap nanar ke arah rintik hujan yang jatuh membasahi langit.
"Bloedige regen," bisiknya. Dia tersenyum pahit. Lalu tatapannya terjatuh pada sebuah lukisan abstrak bergambar hujan berdarah. Lukisan terakhir yang Zee lukis ketika langit meneteskan air, tepat sehari setelah mayat mama dan Papanya ditemukan dengan kondisi kepala terputus dari jasad. Dan sejak saat itu, dia membenci hujan. Zee menggigit bibirnya. Satu bulir air mata tidak sanggup lagi ditahan dan jatuh membasahi pipinya.
"Di-ngin.."
Zee memutar mata ke arah pintu kala indera pendengarannya dengan samar menangkap suara parau seorang cowok. Lalu tatapannya beralih pada jam weker di atas nakas. Pukul satu pagi. Tanpa memikirkan apa pun, Zee melompat menuruni kasur dan menyeret langkah mendekati pintu.
"Shh.."
Suara tersebut terdengar semakin jelas di indra pendengaran Zee. Ragu, dia menekan beberapa angka password guna membuka pintu. Sesaat, Zee lupa bagaimana caranya berkedip dan bernapas kala tatapannya terjatuh pada seorang cowok yang meringkuk lemah di depan pintu. "Altezza?" napas Zee tercekat ketika cowok itu merangkak ke arahnya dan langsung memeluk kakinya erat. "Pe-luk," bisiknya.
Zee menggigit bibirnya dan berusaha melepaskan kakinya dari pelukan Altezza. "Lo apa-apaan sih. Lepas." Altezza menggeleng seperti anak kecil. "Lo gila ya?"
"Gu-e dingin," cowok itu menempelkan pipinya di atas kaki Zee. "Ma-u peluk."
TBC.
401 word.