"Altezza adalah orang yang lebih dulu melihat luka gue yang kecil. Padahal dia sendiri terluka parah." Luka menggumam. Dia membenamkan wajahnya di antara kedua lututnya yang tertekuk, melihat ke arah jarinya yang sempat di plester cowok itu. Para anggota Triggerblack hanya menanggapi kata-kata itu dengan senyuman tertahan. Mereka duduk, menemani Luka yang sedang menunggu Altezza keluar dari ruangannya. Zero melepaskan jaketnya yang dipenuhi bercak darah Altezza yang membekas.
"Dulu, gue sempat berpikir Altezza mengidap penyakit HIV." Buana menipiskan bibir.
"Ternyata gue nggak sendiri." Filosofi tertawa serak. "Gue pikir, dia tertular Grace."
"Tunggu. Apa itu artinya, Altezza dan Grace-" Luka menghentikan kata-katanya ketika melihat Altezza baru keluar dari ruangannya. Kepalanya di perban hanya di bagian belakang. Dia berjalan mendekat, kemudian berlutut dengan satu kaki di hadapan cewek itu. "Ada sesuatu yang menjanggal di pikiran lo?"
"Anu, ehm-" Luka kehilangan kata-kata. Dia menunduk, membuat sebagian wajahnya tertupi rambut. "Apa lo dan Grace-"
"Pernah. Dan itu pertama kalinya buat gue."
Setelah mendengarkan pengakuan Altezza, raut muka cewek itu mengeras. "Lo suka dia?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Luka bernada dingin.
"Lo suka gue?"
"Gue sayang lo."
Altezza mengulum senyum. "Kenapa saat berbicara, lo nggak melihat mata lawan bicara lo?"
Luka tidak mengatakan apapun. Dia memejamkan mata ketika merasakan sebuah usapan lembut pada keningnya yang berkeringat. Altezza menghapus keringatnya yang menetes ke mata. "Gue suka lo." Luka tersenyum sinis. Suka dalam artian Altezza maksudnya berbeda. "Nggak hanya lo, sih. Tapi Grace dan Cadenza juga. Gue suka semua cewek yang nggak gampang patah."
"Oh."
_LUKA_
"Kalau terus di sini, hati lo akan membusuk." Luka terkekeh. Itu kata-kata Zero. Setelah memutuskan pulang, dia duduk bersandar di salah satu batang pohon yang tumbuh di tepi taman gedung Apartemen bersama Lautan di pelukannya. Sesekali mendongak, menatap awan langit yang terlihat mendung pucat. "Rasanya bodoh tapi lucu," dia membisikkan kata-kata ke angin.
"Meow?" Lautan menyentuh pipi babunya. Matanya berkaca-kaca. Luka dan Altezza sulit untuk menunjukkan isi hatinya.
"Altezza nggak bisa melupakan sesuatu yang sudah pernah dia lihat sebelumnya. Karena dia mengingat semuanya. Apakah itu tulisan, gambar atau wajah seseorang." Luka tertegun. Dia bahkan tidak menyadari jika seseorang sudah duduk di sisinya sembari menggendong anak anjing. Ree memiringkan kepala dan menyeringai lebar. "Ingat gue, hm?"
"Lo-" Luka menajamkan tatapannya usai menyadari jika cowok itu merupakan Ree. "... bukan hantu, kan?"
Ree tertawa pelan. Luka memiringkan kepala, menatap wajah Ree dari dekat. Alis maskulin yang menekuk, pupil mata hitam yang membara, hidung mancung dan, "lo terlihat seperti Altezza."
Ree berhenti tertawa. Dia sedikit kecewa. Tapi raut wajah cowok itu sama sekali tidak bisa ditebak.
"Sorry. Maksud gue-"
"Nggak apa-apa."
Hening.
Luka memaki dirinya sendiri. Ree terlihat seperti Altezza. Wajah pucatnya menunjukkan kemarahan tertahan yang sebentar lagi akan meledak. "Hei," Luka menyentuh pundak Ree yang menegang. Cowok itu menggeser duduknya, terlihat menjaga jarak. "Sorry. Tapi gue nggak suka badan gue disentuh sama sembarang orang, termasuk lo." Lagi-lagi, Ree mengingatkannya pada sosok Altezza. Bibir dan matanya terlihat seperti Jejak.
"Meow." Lautan ketakutan ketika anak Anjing Ree menyentuhnya.
"Nggak apa-apa. Callie hanya ingin berkenalan." Ree mengusap kepala Lautan, berusaha menenangkan. "Lagipula, ukuran kalian sama."
"Apa Anjing dan Kucing bisa berteman?"
"Mungkin."
Lautan dan anak anjing Ree menampilkan ekspresi wajah yang sama-sama ketakutan. Mata kedua hewan itu berkaca-kaca. Ragu, Lautan menyentuh tangan Callie yang mungil. "Meow," lirihnya. Callie menepis tangan Lautan dan membenamkan wajahnya di pundak Ree yang memeluknya. Dia tidak mengatakan apapun. "Callie nggak bisa menggonggong. Dia bisu." Ree mengusap punggung Callie.
Lautan menyembunyikan wajah. Dia merasa bersalah. "Meow."
Lagi-lagi, Callie terluka.
"Ah, sepertinya Callie cemburu. Karena diantara peliharaan gue yang lain, hanya dia yang nggak bisa menggonggong." Ree tersenyum pahit. Dia cacat. Cowok itu menajamkan pendengarannya. Terdengar suara derap kaki melangkah ke arahnya dan Luka. Samar, dia melihat siluet seorang cowok yang berjalan sendirian di tengah taman. Seperti bunga Magnolia bermandikan sinar bulan di kegelapan malam. Matanya kelabu kelam, menusuk tajam hingga meninggalkan bekas.
"Altezza."
"Altezza?" Luka mengangkat satu alisnya. Dia meluruskan pandangan dan menyeringai lebar. "Sedang apa lo?"
"Cemburu."
-x word.